Rabu 05 Jan 2022 16:07 WIB

Angka Kasus Perceraian di Indramayu Meningkat pada 2021

"Kalau kita telusuri, bukan ekonomi, melainkan rasa (cinta) yang sudah hilang."

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Seorang warga melintas di depan gedung Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Kamis (31/1). Kasus perceraian di Kabupaten Indramayu saat ini masih tinggi.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Seorang warga melintas di depan gedung Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Kamis (31/1). Kasus perceraian di Kabupaten Indramayu saat ini masih tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Angka perceraian pasangan suami istri di Kabupaten Indramayu sepanjang 2021 mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari angka tersebut, perceraian yang dilayangkan oleh istri (cerai gugat) lebih banyak dibandingkan yang dilayangkan oleh suami (cerai talak).

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, perkara perceraian yang diputus sepanjang 2021 di Kabupaten Indramayu mencapai 8.002 perkara. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2020 yang mencapai 7.781 perkara.

Baca Juga

Dari jumlah 8.002 perkara percearaian yang diputus sepanjang 2021 itu, sebanyak 5.865 perkara merupakan cerai gugat. Sedangkan 2.137 perkara lainnya merupakan cerai talak.

"Ya memang lebih banyak (gugatan perceraian) yang dilayangkan oleh istri," kata Humas Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Agus Gunawan, Rabu (5/1).

Tak hanya pada 2021, kondisi serupa juga terjadi pada 2020. Dari jumlah 7.781 perkara perceraian yang diputus pada 2020, sebanyak 5.584 perkara merupakan cerai gugat dan 2.197 perkara merupakan cerai talak.

Menurut Agus, kasus perceraian di Kabupaten Indramayu selama ini memang tinggi. Bahkan, salah satu yang tertinggi di Jawa Barat. Perceraian itu terjadi akibat berbagai alasan.

"Faktor utamanya ekonomi," cetus Agus.

Faktor ekonomi itulah yang akhirnya membuat banyak warga, terutama istri, pergi ke luar negeri untuk menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Hal itu pula yang menjadi salah satu pemicu banyaknya cerai gugat.

"Tapi kalau kita telusuri, sebenarnya bukan ekonomi, melainkan lebih pada rasa (cinta) yang sudah hilang," tutur Agus.

Agus menyebutkan, pasangan suami istri yang mengajukan gugatan cerai itu sekitar 50 persen di antaranya berusia muda antara 24 – 30 tahun. Sedangkan usia pernikahan mereka, tak sedikit yang masih kurang dari lima tahun.

Agus mengungkapkan, upaya pencegahan perceraian sebenarnya telah dilakukan melalui edukasi pra nikah yang diadakan di Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, dia menilai, upaya tersebut kurang efektif karena hanya diselenggarakan sekali sebelum pernikahan.

"Upaya pencegahan perceraian yang sesungguhnya ada di keluarga dan di tengah masyarakat. Itu edukasi yang paling mendalam," tukas Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement