Selasa 18 Jul 2023 09:43 WIB

Jejak Negara Beling di Kota Bandung

Julukan itu merujuk kawasan kelas menengah ke bawah yang rawan tindak pidana.

Rep: M Fauzi Ridwan/ Red: Agus Yulianto
Suasana kawasan Cicadas, Kota Bandung, saat ini. Di era 90-an wilayah ini terkenal dengan kampung beling.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Suasana kawasan Cicadas, Kota Bandung, saat ini. Di era 90-an wilayah ini terkenal dengan kampung beling.

REPUBLIKA.CO.ID, Dekada tahun 1990-an, sejumlah wilayah di Kota Bandung dilabeli sebagai kampung atau negara beling. Julukan itu merujuk kepada kawasan kelas menengah ke bawah yang sering terjadi tindak pidana kejahatan.

Liogenteng, Nyengseret, Pasirkoja, Sukapakir, Babakan Irigasi adalah sebagian wilayah pinggiran Bandung yang pernah dikenal sebagai kampung beling. Daerah Cicadas pun dikenal sebagai kampung beling.

Kampung atau negara beling pun mengacu kepada pekerjaan masyarakat setempat yaitu tukang rongsok atau tukang beling. Pekerjaan lainnya yang ada seperti pencuri, copet dan lainnya.

 

photo
Ustadz Hanan Attaki menjelaskan betapa pentingnya berhijrah, pada acara Pemuda Hijrah Blusukan di Jalan Jembar, Cicadas, Cibeunying Kaler, Kota Bandung. (Ilustrasi). 

 

Kegiatan minum minuman keras, penggunaan obat, perkelahian jadi makanan sehari-hari warga. Tidak jarang, nyawa melayang akibat kejahatan yang terjadi.

Jeger-jeger (preman) saat itu bermunculan. Keberadaan mereka semakin membuat mencekam di lingkungan.

Di era itu, masyarakat yang melintas ke daerah tersebut akan diliputi kekhawatiran karena merasa tidak aman dan mencekam. Bahkan, mereka akan lebih baik memilih jalur yang dilintasi bukan kampung beling.

"Tahun 90-an, katelahna (dikenalnya) negara beling. Orang-orangnya galak, suka ada pencurian, garelut (perkelahian). Kanu gelut sarumanget (Orang-orang senang berkelahi," ucap IW pria paruh baya yang hampir 50 tahun tinggal di pemukiman tersebut.

Suasana dulu di daerah Liogenteng, Nyengseret, Pasirkoja, Senawa, Sukapakir, Babakan hingga Irigasi terbilang mencekam. Penduduk di wilayah itu tidak segan mengajak berkelahi pada orang-orang yang angkuh.

"Pokoknya lamun aya orang misal orang Nyengseret, Senawa saregan (segan)," kata dia.

Di tahun 90-an, dia mengatakan, peredaran minuman keras bahkan obat-obatan marak terjadi. Tidak jarang, IW menuturkan perkelahian-perkelahian yang terjadi membuat nyawa seseorang melayang.

Julukan negara beling, ia mengungkapkan berasal dari orang-orang kalangan menengah ke bawah. Warga-warga yang tinggal di pemukiman itu cenderung galak yang membuat orang segan datang ke tempat itu.

"Dulu mah di bawah garis kemiskinan teh bener, segala macam kerjaan boh (baik) pergaulan dilabrak," ungkap dia.

Seiring waktu dan perkembangan zaman, IW menilai berbagai kejahatan di kampung beling relatif menurun. Orang-orang di pemukiman tersebut sudah mulai baik dan tidak galak.

Namun begitu, di beberapa daerah, dia mengatakan, profesi warga seperti pencuri atau copet masih ada. Termasuk beberapa orang yang masih galak yang membuat suasana seram.

"Ayeuna mah beda, balageur (sekarang mah beda, baik)," jelas dia.

IW menambahkan, para jeger yang dulu berkuasa di wilayah-wilayah itu kini sudah tidak ada. Mereka banyak yang pindah rumah atau telah meninggal. Saat ini para penduduk di kampung-kampung beling banyak diisi oleh pendatang.

Pengamat sosiologi Unpad Herry Wibowo mengatakan, fenomena kampung beling seiring waktu mengalami perkembangan sejak dulu sampai saat ini. Dengan perkembangan teknologi, kejahatan tidak hanya tersentralisasi pada satu wilayah, namun menjadi global.

"Ada semacam lokalisasi regional bentuk kejahatan, dengan hadirnya globalisasi kecanggihan teknologi menjadi kurang relevan bicara kampung geografi wilayah karena sekarang hadir teknologi sudah menghubungkan orang-orang di berbagai dunia," kata dia.

Namun begitu, dia mengatakan, dimensi kejahatan di berbagai tempat masih terkait ekonomi, harga diri dan politik kelas berkerah.

"Dari dulu kejahatan sampai sekarang, kejahatan dimensi ekonomi, premanisme, wilayah parkir dan pemalakan pedagang. Dimensi kejahatan harga diri karena harga diri terusik. Bicara wilayah masuk ke gang tertentu gak punten dulu harga diri terusik dan politik kelas atas white color crime," jelas dia.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement