Sabtu 12 Aug 2023 13:58 WIB

Jadikan SARA 'Dagangan' tidak Laku di 2024

SARA yang dijadikan alat serang membuat keakraban hilang dari kehidupan bermasyarakat

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Ihsan Maulana
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ihsan Maulana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SARA memang telah dijadikan alat menyerang politisi dalam kontestasi politik beberapa tahun terakhir. Tanpa disadari, kondisi itu mengakibatkan pemilu tidak lagi dirasakan warga sebagai pesta demokrasi.

Akibatnya, kampanye-kampanye politik yang dulu kita nikmati sebagai hiburan rakyat tidak lagi terlihat menyenangkan. Semua berubah menjadi kontes saling menyerang yang malah menimbulkan suasana menegangkan.

 

photo
Ribuan kader dan simpatisan sejumlah parpol pengusung pasangan Capres-Cawapres. (Ilustrasi) (Antara/Asep Fathulrahman)

 

Adu yel-yel dari pendukung partai kepada pendukung partai lain tidak lagi kita temui sebagai penyemangat. Hal itu karena SARA yang dijadikan alat serang telah membuat keakraban hilang dari kehidupan bermasyarakat.

Peneliti dari Perludem, Ihsan Maulana menilai, polarisasi SARA membuat politik identitas menjadi komoditas politik. Ia menilai, itu banyak dipakai politisi sebagai strategi politik karena memang berbiaya murah.

"Politik identitas bisa dibilang strategi yang cukup murah," kata Ihsan.

Sebenarnya, pemanfaatan SARA sebagai alat menyerang tidak dilakukan kontestan-kontestan dari pemilu. Tapi, dimainkan politisi yang menyerang lawan memanfaatkan emosi pemilih yang menggunakan hati dalam memilih.

Ihsan melihat, dibandingkan memakai politik uang yang sebelumnya jadi strategi, politik identitas banyak dipilih karena berbiaya murah. Cukup dimainkan politik identitas tanpa perlu mengeluarkan uang yang besar.

"Dimainkan emosi pemilih, disampaikan narasi tidak baik, sangat murah," ujar Ihsan.

Pada Pilgub DKI 2017, misal, cagub Anies Baswedan, cagub Basuki Tjahaja Purnama dan cagub Agus Harimurti Yudhoyono sebenarnya sudah memberi contoh sangat baik. Mereka kerap menunjukkan keakraban di depan publik.

Pun pada Pilpres 2019, capres Joko Widodo maupun capres Prabowo Subianto kerap mengingatkan pentingnya menghargai. Semua itu kembali membuktikan diskriminasi SARA memang merupakan dagangan terselubung dari politisi.

Peneliti BRIN, Prof Siti Zuhro, turut memuji silaturahmi yang belakangan banyak dilakukan elit-elit partai politik. Tapi, silaturahmi harus lebih dari itu karena bisa menjadi momentum tepat untuk refleksi konkrit.

Lalu, dikuatkan dengan meningkatkan rasa persatuan nasional sekaligus kesadaran saling membutuhkan antar elit-elit sebagai makhluk sosial. Ia merasa, semua itu penting dilakukan dalam tahun politik menjelang 2024.

"Menyongsong Pemilu 2024 rasa kebangsaan semestinya ditumbuhkan secara positif, jadi tolong Pak Prabowo, Mas Ganjar, Mas Anies dan calon-calon wakil presiden, siapapun yang muncul tolong itu dikuatkan," kata Zuhro.

Dia menekankan, pemilu tidak dapat dipisahkan dari bagian untuk merawat kemajemukan bangsa dan persatuan nasional. Sebab, pemilu akan berdampak signifikan terhadap Indonesia, baik pemerintah maupun rakyat sendiri.

Meskipun tahun politik, ia merasa, tidak boleh mengurangi niat untuk tetap mempererat hubungan persaudaraan dengan sesama. Tujuannya, tidak lain agar harmoni masyarakat menjelang Pemilu 2024 nanti bisa tercipta.

Zuhro merasa, aksi silaturahmi itu dapat semakin mendekatkan hubungan antar sesama dan menjauhi rasa saling curiga. Bahkan, dapat pula menjadi ajang meningkatkan kepercayaan, membangun rasa percaya satu sama lain.

"Tradisi positif melalui saling kunjung mengunjungi dan maaf memaafkan adalah tradisi yang baik, yang terpuji karena mengajarkan nilai-nilai saling menghormati dan menghargai siapapun yang kita kunjungi, sowan," ujar Zuhro.

Dia menekankan, nilai-nilai yang terkandung dalam silaturahmi secara tidak langsung menjadi prasyarat bagi ikhtiar membangun nilai-nilai kebangsaan. Yang mana, sangat diperlukan warga negara Indonesia kini.

"Bahwa, persatuan nasional kita terwujud bila warga negaranya memiliki rasa aman, jadi jangan sampai menciptakan dan memberi rasa tidak aman," kata Zuhro. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement