Rabu 13 Sep 2023 16:38 WIB

Akademisi: Prabowo Perlu Pahami Makna Suap dalam Pemilu

Politik uang merupakan tindakan yang selama ini membuat ongkos politik sangat mahal.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro meminta bakal calon presiden (capres) Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto untuk memahami makna suap dalam pemilu. Sebelumnya, Prabowo menyarankan masyarakat agar menerima uang serangan fajar. 

Herdiansyah menilai Prabowo keliru karena gagal memahami esensi suap dalam pemilu (bribery). “Apa pun alasannya, pemberi maupun penerima secara simbiosis mutualisme terlibat dalam mata rantai politik uang. Pernyataan ini pertanda 'dangkalnya' pemahaman soal esensi politik uang,” ujar Herdiansyah, Rabu (13/9/2023).

Ia mengingatkan, bahwa politik uang merupakan tindakan yang selama ini membuat ongkos politik elektoral di Indonesia sangat mahal (high cost politics).

“Saya pikir Prabowo mesti belajar kembali bagaimana politik uang itu bekerja. Jangan sampai justru membuat politik uang makin subur,” tegasnya.

Dia menjelaskan, pernyataan yang disampaikan Prabowo itu secara tidak langsung justru permisif terhadap praktik politik uang, termasuk serangan fajar.

Kondisi itu, sambung Herdiansyah, dikhawatirkan akan berdampak semakin membuat kesadaran publik kian terbelakang. Dia khawatir publik akan terus terjebak dengan pragmatisme politik, siapa yang bayar maka akan dipilih.

“Padahal, kita butuh pemilih cerdas yang memilih karena ide dan gagasan para calon, bukan karena isi kantungnya,” kata dia.

Dia mengingatkan, bahwa mahalnya ongkos politik akan memicu pada tindakan korupsi. Herdiansyah mengungkapkan, bahwa berbagai riset sudah dijelaskan terkait biaya yang harus dikeluarkan politisi ketika mengikuti pemilu.

Di tingkat DPRD kabupaten/kota misalnya, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar, lalu Rp 20 miliar-Rp 100 miliar di tingkat provinsi dan akan meningkat dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres).

Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menegaskan bahwa sikap masyarakat yang menerima serangan fajar atau politik uang adalah sikap koruptif.

"Kepada masyarakat, bahwa serangan fajar yang dimaksudkan, misalnya dengan bagi-bagi uang dan sebagainya dalam proses-proses yang sedang berjalan, itu tindakan koruptif," kata Ali Fikri.

Ali menambahkan bahwa dengan menerima uang serangan fajar adalah bibit dari tindak pidana korupsi. Menurut dia, pihak yang membagi-bagikan uang tersebut pasti akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya dengan cara korupsi.

"Pada ujungnya, pada gilirannya, dari hasil kajian dan beberapa perkara yang ditangani oleh KPK, itu motifnya sama, untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Saya kira tidak ingin terjadi kembali hal-hal seperti itu," jelasnya.

Sebelumnya, bakal calon presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo menyampaikan orasi saat acara Milad 11 Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, pimpinan Miftah Maulana Habiburahman atau Gus Miftah, Jumat (8/9) malam.

Dalam acara tersebut, Prabowo menyinggung terkait politik uang atau money politics yang sering terjadi saat pemilihan umum di Indonesia. Lalu, Prabowo menyarankan masyarakat menerima uang tersebut.

Menurut Prabowo, jika ada yang bagi-bagi uang jelang pemilu, rakyat terima saja. Karena uang yang diberikan itu juga uang rakyat. Pernyataan Prabowo yang saat ini menjadi bakal calon presiden (bacapres) yang diusung Partai Gerindra, Golkar, dan PAN itu menimbulkan polemik di masyarakat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement