REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Setelah mendeklarasikan perang terhadap pejuang Palestina, Israel mengintensifkan pemboman di Jalur Gaza pada Senin (9/10/2023). Israel bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan kelompok Hamas di Gaza.
Seperti diketahui, dalam beberapa hari terakhir kelompok Hamas melancarkan serangan ke luar Gaza. Dilaporkan setidaknya 700 orang tewas di Israel. Jumlah ini merupakan korban jiwa yang sangat besar dan belum pernah dialami Israel selama beberapa dekade terakhir. Sementara lebih dari 400 orang meninggal dunia di Gaza. Pejuang Palestina telah menahan lebih dari 130 tawanan dari pihak Israel.
Pasukan Israel melancarakan aksi balasan dengan memerangi pejuang Palestina yang bersembunyi di beberapa lokasi. Pada Senin, Militer Israel mengatakan, mereka memerangi Hamas di tujuh hingga delapan lokasi di Israel selatan. Juru bicara militer Israel, Richard Hecht mengatakan, butuh waktu lebih lama dari perkiraan untuk menghalau serangan tersebut. Karena masih banyak pelanggaran di perbatasan, yang bisa dimanfaatkan Hamas untuk mendatangkan lebih banyak pejuang dan senjata.
"Kami pikir pagi ini kami akan berada di tempat yang lebih baik," kata Hecht.
Pasukan Pertahanan Israel mengatakan, 70 pejuang Palestina menyusup ke Be'eri kibbutz dalam semalam. Sementara itu, Israel menyerang lebih dari 1.000 sasaran di Gaza, termasuk serangan udara yang meratakan sebagian besar Kota Beit Hanoun di sudut timur laut wilayah tersebut.
Laksamana Muda Israel, Daniel Hagari mengatakan, Hamas menggunakan Kota Beit Hanoun sebagai tempat melancarkan serangan. "Kami akan terus menyerang dengan cara ini, dengan kekuatan ini, terus menerus, di semua (tempat) dan rute pertemuan yang digunakan oleh Hamas," kata Hagari.
Seorang juru bicara militer Israel, Jonathan Conricus mengatakan, militer Israel telah memanggil sekitar 100.000 tentara cadangan. Conricus mengatakan, Israel bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza.
"Tugas kami adalah memastikan bahwa Hamas tidak lagi memiliki kemampuan militer untuk mengancam Israel dengan hal ini. Dan selain itu, kami akan memastikan bahwa Hamas tidak lagi mampu memerintah Jalur Gaza," kata Conricus.
Militer Israel memperkirakan 1.000 pejuang Hamas ambil bagian dalam serangan awal pada Sabtu (7/10/2023). Tingginya angka tersebut menggarisbawahi besarnya perencanaan yang dilakukan oleh kelompok Hamas.
Hamas mengatakan, mereka melancarkan serangan tersebut sebagai tanggapan atas meningkatnya penderitaan warga Palestina di bawah pendudukan dan blokade Israel di Gaza.
Hamas dan kelompok Jihad Islam mengklaim telah menyandera lebih dari 130 orang Israel. Para sandera dibawa ke Gaza, dan akan ditukar dengan pembebasan ribuan warga Palestina yang dipenjarakan oleh Israel.
Hingga Ahad (8/10/2023) malam, serangan udara Israel telah menghancurkan 159 unit rumah di Gaza dan merusak parah 1.210 lainnya. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, UNRWA mengatakan, sebuah sekolah yang menampung lebih dari 225 orang terkena dampak langsung.
Di Kota Rafah, Palestina, di Gaza selatan, serangan udara Israel pada Senin pagi menewaskan 19 orang, termasuk wanita dan anak-anak. Talat Barhoum, seorang dokter di Rumah Sakit Al-Najjar mengatakan, pesawat menghantam rumah keluarga Abu Hilal, dan salah satu dari mereka yang tewas adalah Rafaat Abu Hilal, seorang pemimpin kelompok perlawanan setempat.
Selama akhir pekan, serangan udara lainnya terhadap sebuah rumah di Rafah menyebabkan 19 anggota keluarga Abu Outa, termasuk wanita dan anak-anak meninggal dunia. Mereka menjadi korban pemboman ketika berkumpul di lantai dasar di Kota Rafah di Gaza selatan.
Beberapa media Israel yang mengutip pejabat layanan penyelamatan mengatakan, sedikitnya 700 orang tewas di Israel, termasuk 44 tentara. Sementara Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, 413 orang, termasuk 78 anak-anak dan 41 wanita wafat di wilayah tersebut. Sekitar 2.000 orang terluka di masing-masing pihak. Seorang pejabat Israel mengatakan, pasukan keamanan telah membunuh 400 pejuang Palestina dan menangkap puluhan lainnya.
Israel telah melakukan kampanye militer besar-besaran selama empat dekade terakhir di Lebanon dan Gaza, namun tanpa deklarasi resmi. Kehadiran sandera di Gaza mempersulit respons Israel. Israel mempunyai sejarah dalam melakukan pertukaran yang tidak seimbang untuk memulangkan warga Israel yang ditawan.
Seorang pejabat Mesir mengatakan, Israel meminta bantuan dari Kairo untuk menjamin keselamatan para sandera. Mesir juga berbicara dengan kedua belah pihak mengenai potensi gencatan senjata, namun Israel tidak terbuka untuk melakukan gencatan senjata pada tahap ini.
Selama setahun terakhir, pemerintah sayap kanan Israel telah meningkatkan pembangunan permukiman di Tepi Barat. Kekerasan yang dilakukan pemukim Israel telah menyebabkan ratusan warga Palestina mengungsi. Selain itu, ketegangan juga meningkat di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.