Rabu 18 Oct 2023 05:03 WIB

Pakar: MK Terancam Jadi Lembaga Perusak Konstitusi

MK terpancing dalam judicial activisme, yang ikut memutus perkara.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023).
Foto: Republika
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Gugun El Guyanie mengkritisi putusan MK terkait syarat usia capres-cawapres dalam UU Pemilu yang berbeda dengan petitum yang sama. Ia menilai, kondisi itu sangat aneh.

Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga itu mempertanyakan, pada tiga perkara sebelumnya amar putusan MK menolak seluruh permohonan. Baik yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan lain-lain.

"Sementara, permohonan dari mahasiswa UNS sebagai pemohon, objectum litisnya dan petitumnya mirip tapi amar putusan mengabulkan sebagian," kata Gugun kepada Republika, Selasa (17/10).

Dia merasa, jika putusan ini dipengaruhi kehadiran Ketua MK, Anwar Usman, maka sebenarnya MK ada dalam bahaya. Sebab, dalam beberapa perkara yang ditolak, Ketua MK tidak hadir dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Tapi, dalam perkara yang dikabulkan sebagian, kehadiran Anwar Usman dalam RPH bisa membalik putusan sebelumnya. Kejanggalan ini ternyata juga diakui oleh beberapa hakim MK seperti Prof Saldi Isra.

Aplagi, kita semua tahu, Ketua MK memiliki conflict of interest dengan norma yang sedang diajukan judicial review. Pasalnya, itu menyangkut peluang Walikota Solo, Gibran, yang memiliki hubungan kekeluargaan.

"Dalam konteks ini, MK terpancing dalam judicial activisme, yang ikut memutus perkara yang sebenarnya masuk dalam open legal policy, yang menjadi domain lembaga legislatif dan pemerintah," ujar Gugun.

Justru, MK tidak konsisten dalam judicial activisme yang mengarah pada judicialication of politic. Misal, dalam pengujian pasal Presidential Threshold, MK menahan diri atau dikenal dengan judicial restraint.

Saat itu, MK menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Tapi, dalam kasus syarat usia pimpinan KPK yang diajukan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, MK terpancing memutus dan jelas menguntungkan Nurul Ghufron.

Gugun merasa, inkonsistensi MK dalam judicial activisme sangat politis dan berpihak ke investasi politik keluarga. Ini jadi peringatan lembaga pengawal konstitusi ini bisa jadi tidak mendapat kepercayaan publik.

"Kalau sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat, MK terancam menjadi lembaga penghancur konstitusi," kata Gugun. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement