Senin 30 Sep 2024 15:57 WIB

Soekarno di Antara Dewan Jenderal, DN Aidit, dan Pengkhianatan G30S/PKI Terhadap NKRI

Pertentangan PKI dengan ABRI semakin meruncing menjelang G30S/PKI.

Sukarno dan Aidit dalam perayaan 45 tahun PKI di Stadion Istora Senayan.
Foto: Google.com
Sukarno dan Aidit dalam perayaan 45 tahun PKI di Stadion Istora Senayan.

REPUBLIKA.CO.ID, Isu Dewan Jenderal yang akan ingin menggulingkan pemerintah Orde Baru pimpinan Ir Soekarno hingga hari ini belum terungkap. Apakah benar keberadaan Dewan Jenderal yang berujung pada pengkhianatan G30S/PKI pada 1965? Melalui kesaksian wartawan Alwi Shahab rahimahullah, Republika merawikan bagaimana situasi menjelang 30 September 1965, di mana Soekarno berada di antara Dewan Jenderal, DN Aidit, dan pengkhianatan PKI terhadap NKRI.

Dalam sidang tahunan MPR Agustus 2003, ada tuntutan agar Ketetapan (Tap) MPRS No 25/MPRS/1966 dicabut, dan ajaran komunis yang dilarang melalui Tap tersebut dibolehkan kembali. Tap ini keluar setelah ditumpasnya pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Kini, lepas dari adanya berbagai pendapat tentang peristiwa 52 tahun silam, saya punya pengalaman tidak terlupakan.

Kala itu, sebagai wartawan pemula di Kantor Berita Antara, saya ditugaskan meliput pidato Presiden Sukarno pada Rapat Teknisi di Istora Senayan. "Bung cukup dengar dari televisi. Tapi, yang Bung liput hanya amanat Bung Karno. Pidato-pidato lainnya tak usah," kata pimpinan redaksi memberi penugasan kepada saya.

Kala itu TVRI yang baru mulai siaran sore hari diwajibkan siaran langsung bila presiden memberikan amanat pada rapat-rapat umum yang hampir tiap malam digelar. Dalam pidatonya, Bung Karno menyitir dialog antara Kresna dan Arjuna dalam perang Baratayudha. Arjuna ragu-ragu karena dalam perang ini ia harus berhadapan dengan kerabat dan gurunya sendiri.

Situasi menjelang G30S memang sangat memanas dan menegangkan. Hampir setiap hari demo-demo kelompok kiri bermunculan. Sasaran utamanya, antara lain menuntut pembubaran HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dituduh antek DI/TII dan Masyumi. DI/TII dan Masyumi kala itu telah dilarang pemerintah, seperti dilarangnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat ini.

Beberapa hari menjelang G30S, Aidit dalam rapat umum Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa di Indonesia yang terkait dengan PKI, mengatakan, "CGMI lebih baik pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI." Kala itu HMI merupakan organisasi mahasiswa militan yang banyak pengikutnya dan dapat mengimbangi kekuatan mahasiswa kiri.

Pertentangan sengit juga terjadi antara PKI dan Partai Murba. Kala itu beredar isu: Dalam sidang kabinet yang dipimpin Bung Karno di Istana Bogor terjadi perdebatan sengit antara Aidit dan Chaerul Saleh, Ketua MPRS, yang dekat dengan Bung Karno. Konon, Chaerul yang juga tokoh Partai Murba yang antikomunis itu telah meninju Aidit. Menjelang G30S Murba pun dibubarkan.

Pada 30 September 1965 koran-koran memuat berita pernyataan tokoh PKI Anwar Sanusi. "Ibu pertiwi hamil tua, dan peraji (dukun beranak)-nya sudah siap untuk kelahiran sang bayi."

Sebelumnya, Wakil PM/Menlu Subandrio mengatakan, "Akan terjadi kristalisasi, di mana yang dulunya kawan akan menjadi lawan."

Pertentangan antara kelompok militer dengan komunis semakin meruncing...

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement