REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Cirebon (FH UMC) sukses menyelenggarakan Seminar Internasional Linguistik Forensik, sebuah forum akademik yang membahas peran bahasa dalam sistem hukum dan peradilan. Seminar ini menghadirkan Assoc Prof Dwi Santoso, PhD dari Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM) Perlis sebagai pembicara utama. Dwi Santoso, yang juga sering menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan UU ITE, membahas secara mendalam bagaimana Linguistik Forensik berperan dalam analisis bukti digital, ujaran kebencian, dan kejahatan berbasis komunikasi.
Selain itu, seminar ini menghadirkan dua pembicara lainnya dari institusi penegak hukum, yaitu Kapolres Cirebon, Kombes. Sumarni, dan Kajari Cirebon, Dr Yudhi Kurniawan.
Acara dibuka secara resmi oleh Rektor UMC, Dr Arif Nurudin, yang menekankan pentingnya Linguistik Forensik sebagai alat bantu dalam dunia hukum.
"Dalam dunia hukum, analisis bahasa memiliki peran yang sangat besar, terutama dalam menginterpretasikan ujaran atau teks yang menjadi barang bukti. Seminar ini diharapkan dapat membuka wawasan lebih luas tentang bagaimana Linguistik Forensik dapat diterapkan dalam penegakan hukum," ujarnya.
Seminar ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum UMC, Dr Elya Kusuma, serta jajaran kaprodi, dosen, pengacara, jaksa, polisi, dan mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin mendalami lebih jauh mengenai peran bahasa dalam sistem hukum.
Sebagai pembicara pertama, Kapolres Cirebon, Kombes. Sumarni menjelaskan bagaimana kepolisian semakin sering menghadapi kasus yang melibatkan analisis bahasa dalam komunikasi digital, seperti ujaran kebencian, pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, dan tindak pidana berbasis media sosial.
"Saat ini, penyelidikan tidak hanya dilakukan terhadap kejahatan fisik, tetapi juga terhadap kejahatan berbasis komunikasi digital. Bukti bahasa menjadi sangat krusial dalam menentukan apakah suatu pernyataan melanggar hukum atau tidak," jelasnya.
Kapolres juga menyoroti tantangan yang dihadapi aparat kepolisian dalam menginterpretasikan bukti digital yang berupa teks atau rekaman suara.
"Dalam beberapa kasus, kepolisian harus memastikan bahwa bukti yang dikumpulkan benar-benar mendukung unsur pidana yang disangkakan. Oleh karena itu, kerja sama dengan ahli Linguistik Forensik sangat diperlukan untuk menilai motif, konteks, dan dampak dari suatu pernyataan," katanya menambahkan.
Sebagai pembicara kedua, Kajari Cirebon, Dr Yudhi Kurniawan, membahas peran bahasa dalam sistem peradilan, khususnya dalam penyusunan dakwaan, pemeriksaan saksi, dan analisis bukti verbal di pengadilan.
"Bahasa yang digunakan dalam hukum harus jelas, tidak ambigu, dan sesuai dengan konteksnya. Kesalahan dalam memahami pernyataan atau teks dapat menyebabkan kesalahan dalam penerapan hukum," ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa kasus di mana analisis linguistik membantu jaksa dalam menentukan apakah suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai fitnah, ujaran kebencian, atau pelanggaran hukum lainnya.
"Misalnya, ada kasus di mana seseorang didakwa melakukan pencemaran nama baik di media sosial. Namun, setelah dilakukan analisis linguistik, ditemukan bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk kritik yang sah. Ini membuktikan bahwa analisis bahasa dapat membantu dalam proses peradilan," jelasnya.
Kajari juga menegaskan bahwa Linguistik Forensik dapat membantu jaksa dalam menafsirkan pernyataan saksi, mengidentifikasi keabsahan dokumen hukum, serta menganalisis bukti bahasa yang diajukan dalam persidangan.
Sebagai pembicara utama yang menutup seminar, Assoc Prof Dwi Santoso yang juga sering menjadi saksi ahli dalam kasus UU ITE, memberikan paparan mendalam tentang bagaimana Linguistik Forensik dapat digunakan untuk menganalisis bukti digital, ujaran kebencian, dan manipulasi bahasa dalam kasus hukum.
“Dalam era digital ini, komunikasi tidak hanya terjadi secara lisan, tetapi juga melalui teks, media sosial, dan rekaman suara. Oleh karena itu, Linguistik Forensik menjadi alat yang sangat penting dalam menilai bukti bahasa dalam kasus hukum," paparnya.
Dalam pemaparannya, ia menjelaskan beberapa metode utama dalam Linguistik Forensik, seperti:
• Analisis teks tertulis, untuk mendeteksi pemalsuan dokumen atau mengidentifikasi penulis anonim.
• Forensik akustik, untuk menganalisis rekaman suara dan memastikan keabsahan sebuah pernyataan.
• Analisis ujaran kebencian, untuk menentukan apakah suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Dwi Santoso juga menjelaskan beberapa studi kasus di mana Linguistik Forensik membantu dalam menyelesaikan berbagai kasus hukum berbasis komunikasi digital.
"Kita sering menemukan kasus di mana sebuah pernyataan di media sosial dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Namun, setelah dianalisis lebih dalam, ternyata pernyataan tersebut adalah kritik yang masih berada dalam batas kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, penting bagi penegak hukum untuk memahami konteks dan struktur bahasa sebelum mengambil keputusan hukum," katanya.
Setelah pemaparan, sesi dilanjutkan dengan diskusi interaktif, di mana peserta mengajukan berbagai pertanyaan terkait penerapan Linguistik Forensik dalam sistem hukum Indonesia.
Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana menentukan batasan hukum dalam menilai ujaran kebencian.
Menanggapi hal ini, Assoc Prof Dwi Santoso menjelaskan bahwa analisis konteks, motif, dan dampak pernyataan harus dilakukan sebelum menentukan apakah sebuah pernyataan melanggar hukum atau tidak.
“Hukum harus memastikan bahwa batas antara kritik yang sah dan ujaran kebencian benar-benar jelas. Tanpa analisis linguistik yang mendalam, ada risiko kesalahan dalam menafsirkan pernyataan seseorang,” tegasnya.
Sebagai hasil dari seminar ini, UMC mengumumkan rencana untuk membuka Pusat Studi Linguistik Forensik, yang akan menjadi wadah bagi akademisi dan praktisi hukum dalam mengembangkan penelitian serta pelatihan di bidang ini.
“Kami melihat bahwa Linguistik Forensik semakin dibutuhkan dalam sistem hukum kita, terutama dengan meningkatnya kasus berbasis komunikasi digital. Oleh karena itu, UMC berkomitmen untuk mendirikan pusat studi ini agar ilmu ini dapat diterapkan lebih luas dalam sistem peradilan di Indonesia,” ujar Dr Arif Nurudin dalam penutupan acara.
Dengan adanya pusat studi ini, diharapkan penegak hukum, akademisi, dan mahasiswa hukum dapat lebih memahami bagaimana bahasa dapat dijadikan alat bukti ilmiah yang kuat dalam pengadilan, serta mendukung keadilan hukum yang lebih objektif dan berbasis bukti ilmiah.