REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia menyebutkan mayoritas beras yang dijual di pasaran baik premium maupun medium terindikasi adanya pelanggaran.
Temuan Kementan dan berbagai stakeholder terkait, mayoritas beras yang dijual di pasaran, baik dalam kategori premium maupun medium, mengindikasikan adanya pelanggaran. Beras yang dijual itu, tidak sesuai volume, tidak sesuai harga eceran tertinggi (HET), tidak teregistrasi Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), serta tidak memenuhi standar mutu menurut Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 31 Tahun 2017.
Sebanyak 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual melebihi harga eceran tertinggi (HET), dan 21,66 persen memiliki berat lebih rendah dari yang tertera di kemasan. Untuk kategori beras medium, 88,24 persen tidak sesuai mutu SNI, 95,12 persen melebihi HET, dan 9,38 persen tidak sesuai berat kemasan.
Temuan itu mendapat tanggapan dari Kelompok Tani Subur Makmur Desa Girimukti, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat. Mereka memastikan untuk beras dari petani kualitasnya terjamin masih bagus.
"Kalau dari petani saya rasa kualitas beras tentunya masih bagus, masih segar tentunya. Tapi kalau sudah sampai ke tengkulak atau Bulog kami kurang tau," ujar Ketua Kelompok Tani Subur Makmur, Desa Girimukti, Alek saat dihubungi, Senin (30/6).
Untuk harga dari petani pun, kata Ale, saat ini terbilang normal. Dimana petani di Desa Girimukti menjual gabah kering giling Rp7.000 per kilogram ke tengkulak. Sedangkan apabila dijual ke Badan Urusan Logistik (Bulog) Rp6.500 dalam bentuk gabah kering panen.
"Kalau untuk petani harga segitu tergolong standar, lumayan cukup membantu juga. Biasanya petani di sini dijualnya ke tengkulak atau Bulog," kata Alek.
Diberitakan Republika sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut pihaknya mengecek bersama Satgas Pangan, Badan Pangan Nasional, Kepolisian, serta Kejaksaan.
"Ada anomali yang kita baca, harga di tingkat penggilingan turun, tetapi di konsumen naik. Kami mengecek di 10 provinsi mulai mutu, kualitas, beratnya, ternyata ada yang tidak pas termasuk HET," kata Amran dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kementan, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (26/6/2025).
Ia menerangkan, investigasi yang dilakukan pada periode 6—23 Juni 2025 mencakup 268 sampel beras dari 212 merek yang tersebar di 10 provinsi. Sampel ini melibatkan dua kategori beras, yakni premium dan medium. Fokus utama pada parameter mutu seperti kadar air, persentase beras kepala, butir patah, dan derajat sosoh.
Amran menyampaikan, berdasarkan hasil investigasi, ditemukan 85,56 persen beras premium yang diuji tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Kemudian, 59,78 persen beras premium tersebut juga tercatat melebihi HET, sementara 21,66 persen lainnya memiliki berat riil yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tertera pada kemasan.
Sedangkan untuk beras medium, 88,24 persen dari total sampel yang diuji tidak memenuhi standar mutu SNI. Lalu, 95,12 persen beras premium ditemukan dijual dengan harga yang melebihi HET, dan 9,38 persen memiliki selisih berat yang lebih rendah dari informasi yang tercantum pada kemasan.