Ahad 17 Aug 2025 12:57 WIB

Bermula dari Pikiran yang Merdeka

Cukuplah kita berkarya dengan apa yang kita mampu.

Anggota DPRD Jawa Barat, Siti Muntamah Oded.
Foto: dok pribadi
Anggota DPRD Jawa Barat, Siti Muntamah Oded.

Oleh: Hj Siti Muntamah Oded, S.AP, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dan Ketua BPKK DPW PKS Jawa Barat

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Syukur terdalam atas rangkaian nikmat yang Allah SWT limpahkan. Termasuk mensyukuri perjalanan 80 tahun Indonesia merdeka. Usia yang tak sebentar untuk ditempuh dan dijalani.

Para perempuan hebat, pejuang-pejuang keluarga di mana saja berada. Kita tak lahir di zaman di mana kemerdekaan masih diperjuangkan. Kita juga tak ikut berperang berlumur darah membawa senjata untuk melawan musuh.

Namun sesungguhnya di zaman sekarang pun kita bersama ujian dan pengorbanan tersendiri.

Bahkan boleh jadi konteksnya cukup timpang, di mana di zaman sudah serba canggih dan pusaran teknologi begitu kuatnya, namun angka stunting belum pulih, kesehatan ibu dan anak belum merata, hak dan fasilitas pendidikan belum dipenuhi dengan paripurna.

Haruskah kita menyerah?

Potongan syair lagu Ibu Pertiwi, tertulis: “Kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa”. Jika diresapi jauh pada kedalaman hati, memang demikianlah kondisi negara kita.

Kasus demi kasus yang setiap hari terdengar di televisi, bayi merah yang dibuang si empunya cukup ramai dalam berita demi berita. Tak terkecuali berita pelecehan yang mengiris dada.

Pelecehan anak di bawah umur, pelecehan anak remaja putri, pelecehan perempuan buruh. Rangkaian berita pilu tersebut seolah berbanding terbalik dengan kenyataan Indonesia ini telah berdulat. Seolah menggambarkan, bangsa kita belum mampu berdiri tegak.

Namun di luar itu semua, kita tak bisa menyerah bahkan merasa kalah dengan situasi dan kondisi yang ada. Justru demikianlah fitrah kehidupan, kita terlahir untuk berjuang. Kita terlahir untuk tampil sebagai solusi, bukan menghabiskan waktu tenaga untuk bersedih dan meratapi.

Tak terkecuali dalam situasi yang “karut marut” dan aneka kasus. Kita tak bisa menyerah. Kita tetap harus berpikir mampu. Mengapa? Karena jika diri kita sendiri saja berpikir tak mampu, lalu bagaimana dengan orang-orang di sekitar kita? Kemungkinan besar, orang-orang di sekitar kita pun akan berpikir tak mampu.

Benar adanya, hak merdeka kaum perempuan Indonesia belumlah seutuhnya. Salah satunya terbukti dengan kasus KDRT yang masih dominan. Sementara Komnas Perempuan sendiri berpandangan, bebas dari penyiksaan adalah hak asasi setiap manusia.

Pengakuan dan jaminan atas hak-hak ini secara tegas dinyatakan di dalam Konstitusi dan instrumen hukum lainnya yakni, Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No.

Persoalannya, sudahkah kemerdekaan tersebut sudah sedemikian mengemuka?

Siapalah lagi yang hendak memperjuangkan kemerdekaan para perempuan tercinta, kalau bukan kita sesama kaum perempuan yang siap berjuang dan berada di barisan depanm untuk sebuah cinta dan kedaulatan.

Berpikir merdeka

Merdeka itu hakikatnya soal rasa, pola pikir, soal mindset. Pun kita kaum perempuan, para ibu, para pejuang keluarga. Kadang kita perlu menghela napas dengan tukmaninah untuk memberikan rasa lega pada diri kita sendiri.

Kadang kita butuh untuk sekadar duduk sejenak menghimpun ketenangan. Kita butuh senyap sementara waktu untuk sekadar mengumpulkan kesadaran. Lalu dari ketengan dan kesadaran itulah, menjelma hati yang berdaulat dan cara pandang yang merdeka.

Dalam pikirian yang merdeka itulah, seorang perempuan tampil menjadi dirinya sendiri, seorang perempuan mengantongi kekuatan untuk mampu berbicara dan bercita-cita.

Merdeka itu hakikatnya adalah hak yang sangat dasar alias fitrah. Hak untuk bisa belajar, hak untuk mampu mengemukakan pendapat, hak untuk mengeluarkan ide-ide, hak untuk merasakan hati yang tentram, hak untuk memiliki ruang-ruang privasi.

Tetap berkarya dan berjasa

Tak perlu menjadi pahlawan yang dinobatkan secara formal, untuk mencintai negeri ini dengan setulus hati dan cinta. Tak perlu gelar disandang, untuk membuktikan kita siap berkorban untuk mengokohkan peran keluarga.

Cukuplah kita berkarya dengan apa yang kita mampu. Cukuplah kita berjuang dan berkorban dari tempat kita sendiri, dari keluarga kita sendiri, dari lingkungan tetangga kita sendiri.

Kita bagikan paa yang bisa kita bagi. Kemampuan memasakkah, kemampuan mendidikkah, kemampuan melatih olahragakah? Itu semua bentuk khidmat yang dapat kita lakukan sesuai kesanggupan dan keterampilan yang kita kuasai.

Terus saja berkarya tanpa harus merasa terbanding-bandingkan degan orang lain. Tetaplah bergerak dengan pemenuhan sokongan belajar agar kemampuan dan semangat kita terbarukan.

Tempuhlah kegiatan demi kegiatan sebagai sarana berbuat baik untuk sesama. Sejatinya hal ini ditegaskan Alquran, jika kita telah menunaikan satu perihal, sambunglah dengan perihal (baca: kewajiban selanjutnya). "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain". QS. Al Insyirah: 7

Dirgahayu Republik Indonesia. Bertumbuh untuk maju, menggeliat persembahkan karya terbaik untuk semesta. Peluk hangat untuk para perempuan hebat di mana saja berada. Semoga senantiasa bahagia dan berdaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement