REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Sejumlah pegiat lingkungan mengkhawatirkan adanya potensi perusakan hutan yang masif pascapertemuan antara Pimpinan DPR RI, sejumlah menteri, dan aktivis reforma agraria pada peringatan Hari Tani, belum lama ini. Untuk itu, DPR RI dan pemerintah diminta hati-hati dalam menyikapi aspirasi dari kelompok yang mengatasnamakan petani.
Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) Eka Santosa mengaku banyak menerima aspirasi dari kelompok yang selama ini memiliki kepedulian dalam melestarikan hutan. Kelompok pecinta hutan itu, ungkap dia, mengkhawatirkan adanya kerusakan hutan pascapertemuan sejumlah kelompok yang mengatasnamakan petani dan reforma agraria dengan pimpinan DPR RI dan sejumlah menteri.
Eka mengingatkan, bagi masyarakat adat hutan bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan ruang hidup yang memiliki nilai spiritual dan ekologis. Ia mengutip pepatah Sunda, ‘Leuweung rusak, cai beak, rakyat balangsak’, yang berarti rusaknya hutan akan berujung pada hilangnya air dan penderitaan rakyat.
‘’Menjaga hutan tetapi bentuk ibadah kepada Sang Pencipta,” tegas Eka, Selasa (30/9/2025). Ia menambahkan, konstitusi jelas menugaskan negara untuk melindungi eksistensi hutan demi kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Bahkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan, hutan bukan objek redistribusi dalam reforma agraria. Eka menyoroti wacana menjadikan kawasan hutan sebagai objek reforma agraria melalui skema KHDPK (kawasan hutan dengan pengelolaan khusus) maupun Perhutanan Sosial.
Menurutnya, jika kebijakan itu diterapkan tanpa kajian ekologis yang matang, risiko banjir, longsor, hingga kekeringan akan semakin besar. “Negara tidak boleh abai dan ragu. Fungsi ekologis hutan harus dijaga tegas sebagai penopang kehidupan rakyat,” katanya.
Pihaknya akan terus bersuara melawan kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan. “Atas dasar permasalahan tersebut, kami FPHJ bersama komunitas pendiri dan pendukungnya menyampaikan maklumat,’’ ujarnya.
Maklumat itu berisi enam poin utama, antara lain mempertahankan status hutan negara sebagai penopang kehidupan, menolak menjadikannya objek reforma agraria, hingga mendesak agar setiap alih fungsi hutan diganti dua kali lipat luasannya.
FPHJ juga menuntut penetapan direksi BUMN kehutanan yang profesional, serta pengembalian ketentuan minimal 30 persen luas hutan dari total daratan sebagai syarat ekologis utama.
Sekretaris FPHJ Thio Setiowekti menambahkan, langkah sebagian pihak dalam mengusung agenda reforma agraria justru berpotensi memicu konflik. Ia menilai, pertemuan DPR RI, pemerintah dan sejumlah organisasi pada peringatan Hari Tani lalu terlalu gegabah.
“Menerima perwakilan Serikat Petani Pasundan dan Konsorsium Pembaruan Agraria menjadi preseden buruk. Pernyataan mereka berimplikasi menimbulkan konflik sosial dan horizontal,’’ ujarnya. Kata Thio, kelompok yang diakomodasi dalam forum resmi negara itu terindikasi sebagai pelaku perambahan.
“Kami khawatir akan memicu deforestasi lebih luas dan penjarahan masif di kawasan lindung hutan maupun kebun negara,” katanya. Menurut Thio, pola yang dijalankan kelompok tersebut kerap bermula dari aksi okupasi, kemudian diajukan untuk dilegalkan melalui sertifikasi.
Bahkan, ungkap Thio, sebagian dari kelompk itu sudah berani membuat sertifikat sendiri. Dia menyatakan, perbuatan ini modus yang membahayakan.
Ia menegaskan, FPHJ akan menghadang segala bentuk upaya reforma agraria di kawasan lindung, khususnya hutan dan kebun negara di Pulau Jawa. “Jika hal ini dibiarkan, maka kerusakan lingkungan akan semakin cepat terjadi, dan rakyatlah yang menjadi korban terbesar,” pungkas Thio.
Ketua Umum Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN) PTPN I Regional 2 Adi Sukmawadi menegaskan, seluruh lahan yang dikelola PTPN I Regional 2 merupakan aset negara yang dilindungi hukum. Ia menolak keras segala bentuk okupasi, intimidasi, maupun penjarahan di area perkebunan. Sebab, tutur dia, dianggap merugikan negara sekaligus mengancam keberlangsungan ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan.
Menurut Adi, setiap persoalan yang timbul seharusnya diselesaikan melalui mekanisme dialog dan jalur hukum yang sah, bukan dengan tindakan sepihak yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. ‘’Kami berkomitmen memperkuat kemitraan dengan petani dan masyarakat sekitar kebun, demi kedaulatan pangan nasional. Itu amanah yang tidak bisa ditawar,” ujarnya di Bandung, Senin (29/9/2025).