REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kasus kekerasan pada anak, khususnya kasus bullying, cukup banyak terjadi pada level pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat. Rentang usia yang paling banyak menjadi korban kekerasan ini adalah 16 atau 15 tahun ke bawah.
“SMP ya, rata-rata usia SMP,” kata Kepala DP3A Uum Sumiati kepada Republika, Senin (27/2/2023).
Dia menyebutkan, jika merujuk pada data kekerasan yang terjadi di Kota Bandung, penyebab terbesar tingginya kasus bullying adalah banyaknya anak yang mengonsumsi konten-konten media sosial. Yang sejatinya, menurut dia, belum layak dikonsumsi oleh anak di bawah umur.
Oleh karena itu, peran orang tua dan guru sangat penting untuk mengawasi asupan informasi yang diterima anak. Karena persoalan ini mayoritas terjadi di lingkup masyarakat terkecil yaitu keluarga, kata dia, maka pendidikan etika, moral, dan agama adalah fondasi yang perlu dibangun sebelum anak-anak masuk sekolah atau keluar ke lingkungan pertemanan.
"Jadi di keluarganya dulu dilakukan bimbingan untuk anak-anak,” kata Uum.
Merujuk data Simfoni PPA, dari total 433 kasus kekerasan yang terjadi di Jawa Barat selama 2023, 399 kasus diantaranya dialami oleh perempuan. Jika dilihat dari rentang usia, 6-12 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak mendapatkan tindak kekerasan, 139 kasus. Disusul kelompok usia 13-17 tahun dengan 129 kasus.
Dia menambahkan, anak usia SMP juga menjadi kelompok usia yang rentan melakukan pernikahan usia anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statustik (BPS) Kota Bandung tahun 2020, tercatat sebanyak 8.81 persen atau sekitar 300 ribu perempuan Kota Bandung menikah di bawah 16 tahun. Sementara 16,03 persen lainnya menikah di usia 17-18 tahun.
Uum mengatakan, DP3A telah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) dan Dinas Kesehatan untuk memasifkan sosialisasi dan edukasi tentang bahaya bullying dan pernikahan usia anak kepada siswa SMP dan SMA. Melalui upaya ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang efek negatif yang ditimbulkan, baik dari bullying maupun pernikahan dini, sambungnya.
“Karena bukan hanya mencegah kekerasan, kami juga ingin mengedukasi bahaya pernikahan usia anak karena ini dampaknya sangat banyak, bisa ke kesehatan bayi dan ibu, tidak terpenuhinya hak anak, ketidakseimbangan mental, bahkan resiko kematian,” kata Uum.
“Sosialisasi dan edukasi ini juga kita gencarkan mulai jenjang SMP dan SMA, karena memang anak-anak SMP ini sangat rentan dan sangat diwaspadai terjadinya pernikahan dini maupun bullying,” ujarnya.