Rabu 19 Apr 2023 18:03 WIB

Pengamat: Salah Besar Kalau PDIP Jadikan U-20 Alat Pencitraan

Sepakbola kurang efektif dijadikan mesin bagi pejabat yang mempertahankan posisinya.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Legenda sepak bola nasional Rochy Putiray (kedua kiri), Manajer Madura FC Januar Herwanto (kedua kanan), dan perwakilan dari Save Our Soccer Akmal Marhali (kanan) saat menggelar diskusi sepak bola nasional bertema #PSSIHarusBaik di Graha Pena Surabaya, Senin (17/12).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Legenda sepak bola nasional Rochy Putiray (kedua kiri), Manajer Madura FC Januar Herwanto (kedua kanan), dan perwakilan dari Save Our Soccer Akmal Marhali (kanan) saat menggelar diskusi sepak bola nasional bertema #PSSIHarusBaik di Graha Pena Surabaya, Senin (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDIP menuai sorotan usai kader mereka, gubernur Bali dan gubernur Jawa Tengah, menolak kehadiran timnas Israel di Indonesia. Apalagi, langkah itu menjadi pemicu FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.

Pengamat sepakbola Akmal Marhali mengatakan, jika melihat ke belakang memang ada relasi cukup kuat sepak bola dengan elektabilitas seseorang. Terutama, pada masa ketika dana APBD bisa dihibahkan sebagai bansos ke klub-klub sepakbola.

Tapi, sejak 2011 sampai sekarang, sepak bola kurang efektif dijadikan mesin bagi pejabat-pejabat yang ingin mempertahankan posisinya. Misal, Eddy Rahmayadi yang sempat menjadi gubernur Sumut dan Ketua Umum PSSI, pada akhirnya harus memilih.

Dia merasa, kemungkinan catatan sejarah kuatnya hubungan sepakbola dan politik praktis yang jadi pemikiran PDIP ingin menggunakan sepak bola sebagai salah satu alat menaikkan elektabilitas. Apalagi, ada momentum tuan rumah Piala Dunia U-20.

 

Meski begitu, dia berpendapat, itu merupakan langkah politik yang cukup salah ketika menggunakan isu Israel untuk meramaikan suasana politik menuju 2024. Apalagi, selama ini PDIP dikenal bukan sebagai partai yang konsen isu-isu itu.

"Saya sempat menyampaikan ini kepada Sekjen PDI Perjuangan, Pak ini salah besar kalau PDIP menggunakan Piala Dunia (U-20) sebagai alat pencitraan politik menuju 2024," kata Akmal, Rabu (19/4).

Sebab, dia menekankan, sepakbola bukan ormas yang bisa dengan mudahnya diarahkan. Menurut Akmal, penggemar-penggemar sepakbola selalu bicara tentang passion, dan bukan tentang ketertarikan mereka kepada seseorang, apalagi tokoh-tokoh politik.

"Tapi, ketika itu pak hasto menjawab semua sudah dikalkulasi secara politik, Save Our Soccer itu tahu apa soal politik, kalau PDIP sudah tahu segala sesuatunya dan setiap langkah yang diambil ada resiko dan sudah dipelajari resikonya," ujar Akmal.

Bahkan, da mengingatkan, tidak cuma dampak negatif yang bisa diterima PDIP kalau Indonesia batal jadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Sebab, sekalipun jadi, orang yang akan mendapatkan dampak positif Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, bukan PDIP.

FIFA, lanjut Akmal, sejatinya sangat menolak intervensi politik di sepakbola. FIFA malah menggunakan sepakbola sebagai alat pemersatu bangsa dengan jargon Sepakbola Menyatukan Dunia. Itu yang dirasa membuat FIFA marah ke Indonesia.

"Ini strategi politik Pasar Gembrong, dia pikir dengan begitu kita bisa tawar menawar seperti belanja buat anak di Pasar Gembrong," kata Akmal. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement