REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi, Jawa Barat, akan mendorong pengelolaan sampah organik di tingkat desa. Upaya pengelolaan sampah ini diharapkan dapat menekan volume sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng.
Belakangan ini Pemkab Bekasi menggelar forum diskusi bersama para pakar untuk membahas beragam persoalan, salah satunya terkait sampah. Penjabat (Pj) Bupati Bekasi Dani Ramdan mengatakan, dari hasil diskusi dengan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), pemkab akan berupaya mendorong pengelolaan sampah organik.
“Kita canangkan dulu, nanti langsung ditindaklanjuti dengan membuat percontohan di desa-desa karena yang terpenting kan segera dipraktikkan. Kalau teorinya ternyata mudah, pakai maggot lalat BSF, pakai cacing, tadi saran para profesor yang sudah 20 tahun meneliti,” kata Dani, Rabu (3/5/2023).
Dengan pengelolaan sampah di tingkat desa ini, Dani mengatakan, diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang diangkut ke TPA Burangkeng.
“Yang banyak dan bikin bau itu sampah dapur dan pasar. Sekarang kita fokus ke situ. Kuncinya sedapat mungkin tidak diangkut. Jadi, sedapat mungkin diselesaikan di tempat, bisa di rumah, bisa di lingkungan RT/RW, maksimal di tingkat desa,” kata Dani.
Menurut Dani, pengelolaan sampah organik ini juga memiliki nilai ekonomi. Ia mencontohkan pengelolaan sampah dengan budi daya maggot atau larva lalat.
“Selain mengurangi beban TPA Burangkeng, yang juga sedang terus kita upayakan untuk perluasan area, budi daya maggot ini juga bernilai ekonomis, sehingga bisa membantu mendongkrak perekonomian masyarakat,” ujar dia.
Dani mengatakan, ke depan bisa dibuat tim khusus untuk mendorong pengelolaan sampah organik di desa-desa. Sejalan dengan itu, kata dia, didorong aktivitas bank sampah desa, yang saat ini baru difungsikan, untuk menampung sampah anorganik.
Agar upaya pengelolaan sampah ini dapat berjalan, Dani menekankan pentingnya peran serta masyarakat.
“Kuncinya ada di peran serta masyarakat juga karena biasanya agak susah mengubah perilaku. Makanya kita bertahap dari desa dulu, kemudian berkembang ke RW hingga ke RT. Biasanya kalau manfaatnya sudah terlihat, masyarakat jadi mau,” kata Dani.