REPUBLIKA.CO.ID, Padatnya volume kendaraan di Jalur Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bukan merupakan hal baru. Berbagai wacana penanganan pun bergulir, mulai dari membangun Jalur Puncak II, penyediaan park and ride, cable car, hingga jalan tol.
Jalur yang menghubungkan antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur ini memiliki panjang sekitar 22,7 kilometer dengan lebar jalan rata-rata 7 meter. Namun, kapasitas Jalur Puncak saat ini masih tidak sebanding dengan volume kendaraan keluar-masuk, terlebih pada hari libur yang jumlahnya mencapai 20 hingga 80 ribu kendaraan per hari. Alhasil, kemacetan panjang terjadi.
Sejauh ini, sekitar 37 tahun lamanya, pemerintah melalui kepolisian melakukan penanganan kemacetan secara tentatif, dengan rekayasa lalu lintas berupa sistem satu arah atau one way yang kali pertama diterapkan pada tahun 1986.
Kemudian, kepolisian menerapkan sistem ganjil genap kendaraan setiap menjelang dan selama libur panjang. Regulasi ini lahir ketika pemerintah melakukan pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemi Covid 19, melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) RI Nomor 84 Tahun 2021.
Meski begitu, sistem satu arah masih menjadi cara paling efektif untuk mengurai kemacetan di Jalur Puncak. One way diterapkan secara situasional ketika sistem ganjil genap tak lagi mampu membendung lonjakan volume kendaraan.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan sempat melakukan upaya lain untuk menangani kemacetan Jalur Puncak. Yakni berupa penerapan rekayasa lalu lintas sistem kanalisasi 2-1 pada pertengahan hingga akhir tahun 2019.
Sistem ini membagi arus lalu lintas Jalur Puncak menjadi tiga lajur. Dua lajur ke arah yang sama, dan satu lajur ke arah sebaliknya sesuai dengan ketentuan waktu yang berlaku.
Namun, rekayasa lalu lintas kanalisasi 2-1 tak dilanjutkan ketika memasuki tahun 2020 karena dinilai tak efektif lantaran masih menimbulkan kemacetan di beberapa titik penyempitan jalan atau bottleneck.