Senin 21 Aug 2023 12:56 WIB

Federasi Serikat Guru Sayangkan Putusan MK Bolehkan Kampanye di Sekolah

Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menilai, putusan MK  membuat tempat pendidikan tidak lagi menjadi ruang netral.
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menilai, putusan MK membuat tempat pendidikan tidak lagi menjadi ruang netral.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi membolehkan peserta Pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan yakni sekolah dan kampus, sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menilai, putusan ini membuat tempat pendidikan tidak lagi menjadi ruang netral. “Padahal selama ini, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah  menjadi ruang netral untuk kepentingan public, sehingga dilarang menggunakan fasilitas Pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilihan umum (Pemilu)”, ujar Retno dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menilai, putusan ini secara teknis akan menyulitkan sekolah jika menjadi tempat kampanye saat pembelajaran berlangsung. Selain itu, kampanye di sekolah ini juga berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik.

Karena itu, FSGI mempertanyakan maksud dibolehkannya kampanye di fasilitas pendidikan, mengingat hanya SMA dan SMK yang peserta didiknya masuk kategori pemilih. Itu pun, kata Heru, SMA dan SMK pun hanya sebagian peserta didik yang sudah memiliki hak pilih karena sudah berumur 17 tahun.

"Tempat pendidikan memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik. Namun demikian, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu. Fasilitas pemerintah boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa, tetapi tidak untuk kepentingan elektoral tertentu," ujarnya.

Selain itu, ketentuan tentang persyaratan "tanpa atribut" dalam berkampanye di kampus atau sekolah  itu tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang. Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan. 

“Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya.  Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya. Jika menggunakan aula yang berpendingin udara, maka beban listrik menjadi beban sekolah," ujarnya.

Karena itu, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat, FSGI menilai upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar merevisi peraturan KPU yang relevan.

FSGI mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan merevisi peraturan kampanye pascaputusan MK dengan mendetailkan aturan kampanye di Lembaga Pendidikan.

"Seperti misalnya diperbolehkan dijenjang pendidikan yang mana, apakah hanya boleh dijenjang SMA/SMK yang peserta didiknya ada yang sudah memiliki hak pilih, waktu penggunaan misalnya di haris sabtu/minggu di saat aktivitas pembelajaran sedang tidak ada sehingga tidak mengganggu," ujarnya.

Selain itu, FSGI juga mendorong peran Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan Daerah  untuk mengawasi pelaksanaan kampanye di lembaga-lembaga pendidikan. Terutama sekolah negeri yang tak mungkin menolak perintah kepala daerah inkuben melalui Kepala Dinas Pendidikan setempat untuk menggunakan Lembaga Pendidikan.

"Ada relasi kuasa disini. Bahkan, sekolah sekolah negeri di jenjang SMA/SMK yang memiliki pemilih pemula berpotensi menjadi target kampanye di tempatnya bersekolah saat kampanye dilangsungkan di sekolahnya," ujarnya.

Kemudian, FSGI mendorong pemerintah menjamin keamanan warga sekolah oleh penegak hukum,  ketika kampanye di Lembaga Pendidikan  dengan batasan persyaratan jaminan yang ketat oleh pihak berwenang. Heru menekankan apabila penyelenggara negara bersepakat menjadikan SMA dan SMK untuk tempat kampanye maka risiko kerugian harus dapat diminimalisir dan ada jaminan keamanan dari penegak hukum, pemerintah, Dinas Pendidikan,dan Kepala Sekolah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement