Selasa 22 Aug 2023 05:00 WIB

Memo ‘Sesat’ Jaksa Agung Tunda Pengusutan Kasus Korupsi Peserta Pemilu 2024

Penundaan pengusutan untuk menghindari black campaign, atau kampanye hitam.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menjawab pertanyaan wartawan.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menjawab pertanyaan wartawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memorandum dan instruksi Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait penundaan sementara pengusutan kasus-kasus korupsi yang melibatkan para peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, menuai kritik. Pasalnya, memorandum tersebut ‘langkah sesat’ Jaksa Agung dalam membawa Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam misi mencegah para koruptor untuk masuk ke lingkaran penyelenggara negara.

“Kalau menurut saya, memorandum, atau instruksi Jaksa Agung itu nggak bisa dibenarkan. Tidak ada hubungannya antara pemilu, dengan penegakan hukum, apalagi ini terkait korupsi. Tidak peduli mau pemilu, atau tidak, kalau cukup bukti, tindak pidana korupsi yang melibatkan siapapun juga harus tetap diproses. Bukannya ditunda,” kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Senin (21/8/2023). 

Boyamin mengkritisi banyak hal terkait memorandum Jaksa Agung yang meminta penanganan hukum pelaporan kasus-kasus korupsi yang melibatkan peserta pemilu ditunda sampai tuntas Pemilu 2024.

Menurut dia, memorandum tersebut, dikatakan Jaksa Agung agar penanganan hukum kasus-kasus korupsi oleh Kejakgung, tak dijadikan alat kampanye hitam atau black campaign oleh pihak-pihak yang melaporkan dugaan korupsi para peserta pemilu. 

Dikatakan Boyamin, Jaksa Agung dalam memorandumnya tersebut, juga menyatakan penundaan penanganan hukum perkara-perkara korupsi yang melibatkan para peserta pemilu itu, demi menjaga agar Korps Adhyaksa terlepas dari stigma negatif lantaran kerap dituding turut berpolitik dalam setiap penanganan kasus korupsi yang sedang ditangani. Kata dia, alasan-alasan untuk apolitis tersebut, justeru menjadikan Kejakgung tampak berpolitik. 

“Justru kalau penanganan kasusnya ditunda sampai pemilu selesai, memperlihatkan bahwa Kejaksaan Agung itu seperti berpolitik dalam penanganan kasus korupsi,” kata Boyamin. 

Padahal selama ini, penyidikan korupsi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)-Kejakgung selama ini, kerap membantah, bahkan tak peduli tentang risiko, maupun dampak politik dari setiap penanganan kasus-kasus korupsi. Begitu juga jika penyidikan tersebut, turut menyeret nama-nama besar dari barisan partai-partai politik peserta Pemilu 2024 mendatang.

Selain itu, kata Boyamin, memorandum Jaksa Agung tersebut, juga cacat dalam acuan. Memorandum tersebut bertentangan dengan dasar hukum pemberantasan korupsi yang mengacu pada Undang-undang (UU) 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam Pasal 25 UU Tipikor itu, terang disebutkan penanganan kasus tindak pidana korupsi, mengharuskan percepatan proses untuk mendapatkan kepastian hukum. Bahkan disebutkan dalam pasal tersebut, penanganan tindak pidana korupsi harus lebih didahulukan ketimbang proses hukum yang terkait dengan tindak pidana lainnya.

“Jadi keliru kalau penanganan kasus korupsinya itu, walaupun dia peserta pemilu, kok malah ditunda sampai pemilunya selesai. Justeru seharusnya dipercepat (penanganan kasusnya). Secara prinsip, (memorandum) Jaksa Agung ini mematahkan dalil keadilan yang ditunda, bukanlah keadilan,” ujar Boyamin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement