REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kasus keracunan massal, kembali terjadi. Sebanyak 21 siswa SDN 1 dan SDN 2 Cimereng, Padalarang mengalami keracunan usai mengonsumsi yoghurt yang dijajakan pedagang pada Rabu lalu. Sebelumnya, 35 orang siswa SDN Jati 3 Saguling, keracunan jajanan cimin pada akhir September silam di Kabupaten Bandung Barat.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Vini Adiani Dewi mengatakan, kemungkinan besar keracunan yoghurt yang dialami 21 siswa tersebut disebabkan bakteri serupa pada kasus cimin. Yakni, akibat tercemar bakteri Bacillus cereus.
"Namun, saat ini tengah dilakukan uji sampel oleh Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jabar, untuk memastikan penyebab keracunan massal tersebut," ujar Vini kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).
Oleh karena itu, Vini mendorong, pihak sekolah untuk memperketat pengawasan, terutama dengan menguatkan kembali Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Hal ini dilakukan, untuk meminimalisir agar jangan sampai kejadian serupa kembali terulang. Khususnya di KBB, karena terjadi secara beruntun dalam waktu kurang dari satu bulan.
“Mengenai cimin, hasil dari Labkes menunjukkan bukan karena zat beracun, tapi akibat bakteri. Ini menandakan ada pencemaran. Mungkin (makanan) tidak ditutup," katanya.
Proses pengolahan makanan ini, kata dia, harus diawasi. Kasus yoghurt juga sama, kemungkinan disebabkan pencemaran.
"Makanya kami mendorong agar UKS, penguatan kantin sehat diperkuat kembali. Anak-anak butuh keamanan,” katanya.
Vini meminta, seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat untuk mulai memerhatikan masalah ini, dengan memberikan fasilitas berupa edukasi dan sosialisasi. Bagaimana mengolah dan menjaga higenitas produk makanan yang dijajakan di sekolah.
“Misalnya, pengolahan makanan kita berikan dulu pelatihan. Termasuk pengemasan. Mangga (berjualan), tapi kasih tahu zat beracun apa saja. Harus lihat expired sebelum mengolah. Ketika sudah diolah, ditutup. Ini yang kita ingatkan kembali ke kota/kabupaten untuk menindaklanjutinya,” paparnya.
Vini berharap, dengan pengawasan dan edukasi melalui reaktivasi UKS oleh sekolah yang didukung pemerintah kota/kabupaten, mampu memberi rasa aman terhadap masyarakat kepada anak mereka di lingkungan sekolah.
“Mungkin karena sudah lama enggak sekolah (akibat pandemi Covid-19), (pengawasan) agak longgar. Ini jadi komitmen bersama, mengingatkan kembali kepada UKS sekolah untuk kembali berperan,” katanya.