Jumat 27 Oct 2023 06:39 WIB

Sanksi Peringatan Keras untuk Ketua KPU RI, Ini Penyebabnya

Para pengadu meminta semua komisioner KPU RI dijatuhi sanksi pemberhentian tetap. 

Rep: Febryan A/ Red: Agus Yulianto
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) didampingi anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo (kiri) dan I Dewa Kade Wiarsa Raka (kanan) memimpin sidang KEPP.
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) didampingi anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo (kiri) dan I Dewa Kade Wiarsa Raka (kanan) memimpin sidang KEPP.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan semua komisioner KPU RI melanggar kode etik dalam membuat regulasi terkait keterwakilan minimal caleg perempuan pada Pemilu 2024. Karena itu, DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari. 

"Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada Teradu I Hasyim Asy’ari selaku Ketua merangkap Anggota KPU terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ungkap Ketua Majelis Sidang DKPP, Ratna Dewi Pettalolo di ruang sidang DKPP, Rabu (25/10/2023). 

Baca Juga

DKPP menjatuhkan sanksi peringatan kepada enam anggota KPU RI, yakni Idham Holik, August Mellaz, Yulianto Sudrajat, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Afifuddin, dan Parsadaan Harahap. 

Dalam perkara Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 ini, semua komisioner KPU RI itu terbukti melanggar prinsip profesional dan berkepastian hukum yang termuat dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. 

Anggota Majelis Muhammad Tio Aliansyah mengatakan, semua komisioner KPU RI itu terbukti melanggar kode etik ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 

KPU ketika uji publik menyampaikan bahwa Pasal 8 ayat 2 dalam beleid tersebut mengatur bahwa penghitungan kuota 30 persen caleg perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) untuk setiap partai politik menggunakan pendekatan pembulatan ke atas. Artinya, apabila penghitungan menghasilkan angka pecahan, maka dibulatkan ke atas. 

Namun, KPU mengubah bunyi pasal tersebut setelah mendapatkan masukan dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) dan konsinyering dengan Komisi II DPR. Pasal tersebut berubah menjadi: apabila hasil penghitungan kuota minimal 30 menghasilkan angka pecahan, maka dilakukan dua hal. 

Jika angka di belakang koma tak mencapai 5, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Jika angka di belakang koma mencapai 5 atau lebih, maka berlaku pembulatan ke atas. 

Pasal 8 ayat 2 menggunakan pendekatan pembulatan ke atas dan ke bawah itu pada akhirnya membuat jumlah caleg perempuan tak mencapai 30 persen di sejumlah dapil. Mahkamah Agung (MA) belakangan menyatakan pendekatan pembulatan ke atas dan ke bawah itu bertentangan dengan UU Pemilu. 

"Bahwa para teradu terbukti keliru dalam mengakomodasi masukan DPR yang disampaikan dalam konsinyering dan forum rapat dengar pendapat," kata Tio. 

"Tindakan para teradu terbukti tidak cermat dan tidak profesional dalam mengakomodasi masukan DPR, sehingga melahirkan ketidakpastian hukum bagi partai politik peserta pemilu," ujar Tio menambahkan. 

Tio menjelaskan, UU Pemilu memang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR ketika membuat peraturan. Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 92/PUU/XIV/201 telah menegaskan pula bahwa hasil konsultasi dengan DPR tidak bersifat mengikat. 

Sebagai catatan, sanksi Peringatan Keras terhadap Hasyim dan Peringatan untuk enam komisioner KPU RI lainnya itu lebih ringan dari pada tuntutan pengadu. Para pengadu dalam petitumnya meminta semua komisioner KPU RI itu dijatuhi sanksi pemberhentian tetap. 

Perkara ini diadukan oleh lima orang. Dua di antaranya adalah Widyaningsih (Anggota Bawaslu 2008-2012) dan Hadar Nafis Gumay (Direktur Eksekutif NetGrit sekaligus eks komisioner KPU RI).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement