Rabu 01 Nov 2023 05:05 WIB

Penjajahan Israel, Pekerja Cina Hingga Afiliasi Politik Simpatisan Zionis di Pilpres 2024

Para simpatisan Israel yang ada di Indonesia secara politik berafiliasi ke salah satu

Rep: Imas Damayanti/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua DPR RI, Ledia Hanifa Amalia saat menjadi pembicara dalam FGD.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Wakil Ketua DPR RI, Ledia Hanifa Amalia saat menjadi pembicara dalam FGD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agresi yang dilakukan Israel kepada Palestina pada 2023 ini, boleh dikatakan yang paling kejam yang pernah ada di muka bumi. Dimulai dari pendudukan Israel dan terusirnya warga Palestina dari tanahnya sendiri, nyatanya terdapat jejak-jejak yang patut dijadikan pelajaran dan perjuangan tiada henti.

Sejak 7 Oktober 2023, terjadi pertempuran dahsyat antara pejuang Palestina (Hamas) melawan tantara Israel. Agresi militer Israel pun segera dilancarkan setelah itu, namun agresi terjadi dengan brutal sehingga tidak hanya menyerang Hamas, Israel juga melakukan serangan yang menyasar kepada kaum perempuan, anak-anak, jurnalis, petugas medis, hingga menyasar ke fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah.

Menurut data United Nation Office for the Cordination of Humanitarian Affairs (OCHA), hingga hari ke-23 perang (29/10/2023), jumlah korban jiwa warga Palestina di Gaza maupun Tepi Barat lebih dari 8.100 orang dan sebanyak 22.242 orang terluka. Maka apa yang terjadi Palestina saat ini adalah tragedi kemanusiaan yang dipertontonkan dengan telanjang mata.

Pertanyaannya, siapa Israel dan mengapa Palestina bisa jatuh ke dalam penjajahannya? Wilayah Palestina yang diduduki Israel telah berada di bawah kendali militer sejak tahun 1967. Ini menjadikannya sebagai pendudukan terpanjang dalam sejarah modern. Meskipun sebenarnya, konflik Arab-Israel sudah terjadi sejak 1948 lalu.

Konflik kian memanas ketika Israel menduduki secara illegal daerah di Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur sejak 1967. Maka dalam 16 tahun terakhir dengan melihat agresi yang dilakukan Israel pada 2023 ini, korban Palestina paling banyak berguguran hanya dalam waktu tiga pekan, yakni lebih dari 8.000 jiwa.

Ketika 1917, warga Palestina masih memiliki luasan tanah yang cukup untuk ditinggali. Namun, pada 1948, wilayah Palestina mulai dipisahkan secara illegal oleh Israel. Migrasi besar-besaran bangsa Yahudi Eropa ke Palestina dengan misi mendirikan negara Zionis lambat laun mulai terjadi.

“Jadi kalau masyarakat Betawi tergusur dari kampung halamannya karena tanahnya dibeli, warga Palestina justru tergusur dari kampung halamannya karena kesewenang-wenangan. Tergusur karena ketidakadilan, diusir begitu saja secara illegal oleh Israel,” kata Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia dalam webinar bertema ‘Menguatkan Kebijakan Indonesia ke Palestina’, di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Sejarah Pendudukan Israel di bumi Palestina begitu panjang. Migrasi besar-besaran masyarakat Yahudi Eropa yang ‘disponsori’ Eropa serta Amerika Serikat secara berangsur-angsur itu nyatanya merupakan akal bulus untuk melakukan penjajahan kepada warga Palestina. Tujuannya, merebut Tanah Air warga Palestina dan mengusir rakyatnya—kalau perlu—digenosida.

“Awalnya (migrasi) itu mereka (Yahudi Eropa) membeli tanah di Palestina dalam jumlah yang kecil, kemudian lama-lama mereka melakukan pengusiran,” kata Dosen Senior Program Studi Ilmu Politik Fisip UMJ, Sumarno.

Dengan jejak sejarah demikian, Sumarno teringat bagaimana kegelisahan masyarakat Indonesia terkait adanya migrasi pekerja Cina secara besar-besaran. Hal ini dinilai bukan suatu ketakutan yang tak berdasar, hal ini salah satunya dapat berkaca dari terjadinya migrasi Yahudi Eropa ke Palestina yang pada akhirnya justru memiliki tujuan menguasai tanah tersebut.

Afiliasi politik simpatisan Zionis di Indonesia

Dengan narasi Israel yang mengklaim diri sebagai korban di media-media internasional, hal ini sedikit banyak mengaburkan fakta tentang siapa sebenarnya yang salah dalam tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Opini masyarakat internasional terbelah dua; menjadi pendukung Israel atau menjadi pendukung Palestina.

Salah satu hal yang memicu itu adalah dimulainya Operasi Badai Al Aqsa yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. Padahal, menurut Sumarno, dunia internasional tidak mendukung adanya penjajahan serta melegalkan bagi para pejuang kemerdekaan untuk melawan penjajahan di negaranya masing-masing.

“Agresi militer yang dilakukan Israel itu dalihnya adalah menyalahkan Hamas, karena Hamas yang memulai serangan. Padahal, Hamas adalah pejuang kemerdekaan, bukan teroris,” kata Sumarno.

Terbelahnya opini publik terkait hal ini pun memantik Sumarno untuk melakukan penelitian kecil-kecilan di Twitter. Dari penelitian tersebut diketahui, para simpatisan Israel yang ada di Indonesia secara politik berafiliasi kepada salah satu partai di Indonesia yang juga mengusung calon presiden (capres) 2024.

“Afiliasinya kepada salah satu partai, sebut atau tidak? Berdasarkan penelitian kecil-kecilan, afiliasinya itu mereka adalah pendukung Ganjar,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement