Jumat 29 Dec 2023 13:06 WIB

Blunder PPLN Taipei, KPU Dinilai tak Belajar dari Pemilu 2019

KPU RI harus dapat mengontrol dan berkoordinasi secara intens dengan PPLN. 

Rep: Febrian Fachri / Red: Agus Yulianto
Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah
Foto: dokumentasi pribadi
Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepertinya tidak belajar dari evaluasi kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada Pemilu 2019 lalu. Padahal, regulasi penyelenggaraan Pemilu 2024 ini tidak berubah dari regulasi yang dipakai pada saat Pemilu 2019. 

Sehingga harusnya, kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati,  penyelenggara Pemilu dapat belajar dan tidak lagi membuat kesalahan yang nyaris serupa di Pemilu kali ini. Neni mengatakan hal ini karena geram melihat kelalaian Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei yang mendistribusikan surat suara tidak sesuai aturan yakni pada waktu di luar yang ditetapkan KPU. 

"Penyelenggara Pemilu di luar negeri saya kira kita kan sudah belajar berkali-kali terutama 2019 kemarin yang sebetulnya secara aturan tidak banyak berubah. Dulu kan kasusnya banyak surat suara tercoblos dan lain-lain. Itu kan harusnya kan bisa diantisipasi sejak sekarang. Dan bisa dijadikan sebagai pengalaman dan pelajaran berharga," kata Neni, kepada Republika, Jumat (29/12/2023).

Neni melihat, harusnya PPLN yang sudah diberikan bimbingan teknis dan pemahaman regulasi oleh KPU dapat mendistribusikan surat suara sesuai waktu yang sudah ditentukan. Sehingga, tidak ada kecurigaan publik seperti yang terjadi saat ini. KPU RI kata Neni juga, harus dapat mengontrol dan berkoordinasi secara intens dengan PPLN. Supaya begitu ada kelalaian atau keteledoran, bisa lebih cepat diantisipasi dan tidak keburu viral di sosial media. 

“Jangan sampai juga kemudian publik kan menaruh kecurigaan lain-lain terhadap kpu yang pada akhirnya KPU sendiri akan lelah berurusan dengan proses penyelenggaraan dengan terus menerus mengklarifikasi hal yang semestinya bisa diantisipasi dari awal," ujar Neni.

Neni juga menyangkan Bawaslu yang baru berteriak ada pelanggaran begitu kejadian seperti PPLN Taipei ini sudah viral. Mestinya, kata dia, KPU dan Bawaslu solid bekerja sama dan berkoordinasi dengan kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara yang bersangkutan bila ada persoalan. Sehingga, fungsi penyelenggaraan dan fungsi pengawasan sama-sama berjalan. 

 "Bawaslu terkesan menunggu. Harusnya pengawasan itu harus jemput bola," kata Neni menambahkan. 

Neni mengaku, sulit menerima sikap KPU yang langsung memutuskan surat suara yang sudah keburu didistribusikan ke pemilih sebagai surat suara rusak. Karena, dia menilai, akan ada persoalan baru di kemudian surat suara yang dikirim di luar jadwal dikatakan rusak lalu ada lagi surat suara baru yang akan dikirimkan. 

Di mana akan ada dua surat suara yang diterima pemilih yang telah mendapatkan distribusi di luar jadwal tersebut. Neni mengkhawatirkan, surat suara double ini akan jadi bola liar di kemudian hari sehingga dapat mendelegitimasi penyelenggaraan Pemilu 2024.

"Bagaimanapun kita tidak bisa memungkiri bahwa titik rawan itu mengundang banyak kecurigaan publik, banyak. Ini membuat kepercayaan terhadap penyelenggaraan Pemilu berkurang," ujar Neni.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement