REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat yang ingin berlibur selama libur sekolah ke sejumlah tempat wisata disarankan untuk melihat ramalan cuaca. Tujuannya agar tidak kecele karena ketika tiba di tempat tujuan ternyata bertepatan dengan cuaca esktrem seperti hujan yang membuat liburan menjadi berantakan.
Apalagi dalam sepekan terakhir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meramalkan, meski beberapa wilayah di Indonesia sebagian sudah memasuki musim kemarau, masyarakat masih perlu waspada dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem. "Kondisi alam seperti pada masa penghujan saat ini seringkali menjadi faktor penghambat memperoleh pengalaman maksimal di destinasi," kata dosen Manajemen Bisnis Pariwisata Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Febrian pada Republika, Selasa (3/7/2024)
Selain hanya melihat profil destinasi, ia mengimbau seharusnya para calon wisatawan juga memperhatikan ramalan cuaca dan mencari tahu informasi waktu yang tepat untuk berkunjung. Wisatawan menurut dia juga perlu melihat kemampuan destinasi mengantisipasi situasi cuaca ekstrim agar memperoleh pengalaman yang baik.
"Terutama jika berwisata di alam bebas dan ruang terbuka selain menjaga kondisi tubuh yang baik,” ucap dia.
Beberapa kondisi yang menjadi imbas dari kondisi hujan seperti jalan licin menuju destinasi atau atraksi yang menjadi tidak layak guna karena faktor hujan, perlu dicermati sebelum mengunjungi destinasi. Bahkan beberapa waktu belakangan dunia pariwisata beberapa kali digemparkan dengan berita mengenai kecelakaan yang terjadi pada perjalanan wisata. Entah itu terjadi saat dalam perjalanan seperti kasus kecelakaan yang menimpa beberapa siswa di Bandung atau pun kecelakaan yang terjadi di objek wisata.
Hal ini membuktikan, masih terdapat sebagian pihak pengelola atau pun masyarakat yang belum sadar akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri pariwisata. “Banyak juga faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja diantaranya beban kerja, beban fisik, mental, maupun sosial," kata Founder & CEO dari Malang Travelista Tri Sulihanto Putra di Sosialisasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Industri Pariwisata, kegiatan Pengabdian Masyarakat Program Studi Manajemen Bisnis Pariwisata, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.
Karena itu, pemberi kerja perlu mengupayakan penempatan pekerja agar sesuai dengan kemampuan tiap pekerja. Namun ada juga kapasitas kerja, yang bisa jadi berbeda-beda antar karyawan. "Serta lingkungan kerja, yang mencakup faktor fisik, kimia biologik, ergonomik, maupun psikososial," ujar dia.
Tri yang biasa dipanggil Aan mengatakan sebagai operator perjalanan sangat hati-hati terhadap kontrak perjalanan. Sebagai contoh, ia menjual paket wisata ke Air Terjun Tumpak Sewu yang berada di Kabupaten Lumajang dengan ketinggian air terjun dari atas ke bawah mencapai 120 meter.
Air terjun ini sangat terkenal di mata wisatawan domestik maupun mancanegara karena menawarkan panorama alam yang luar biasa membentuk tirai air yang indah (tiered waterfall). Tetapi di balik itu semua terdapat beberapa risiko yang perlu diperhatikan.
Untuk sampai ke dasar air terjun, wisatawan harus melewati jalur yang cukup menantang, seperti jalan licin dan terjal di beberapa bagian. Selanjutnya, sebagai operator perjalanan harus memahami kondisi cuaca di tempat wisata.
Karena bentuk Air Terjun Tumpak Sewu seperti corong ke dalam, maka ketika musim hujan antara bulan Oktober hingga Maret, operator perjalanan akan menegaskan kondisi kepada wisatawan apakah bisa sampai ke dasar air terjun atau tidak. Beberapa kasus wisatawan terjebak di dasar air terjun akibat terjangan banjir.
Penerapan K3 dalam industri pariwisata sangat penting dilakukan dengan benar mengingat banyak terjadinya kecelakaan yang dialami oleh wisatawan. Penyebab terjadinya kecelakaan adalah karena adanya kelalaian yang dilakukan oleh pengelola maupun karyawan.
Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi kelalaian adalah karena adanya beban kerja yang berlebih, ketidaksesuaian dengan kapabilitas yang dimiliki, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung. Sebagai pelaku industri pariwisata wajib menerapkan prinsip pelayanan prima, terdiri dari Sikap, Kemampuan, Perhatian, Penampilan, Tindakan dan Tanggung Jawab.
Pemilik usaha pariwisata, destinasi pariwisata, dan produk pariwisata lainnya juga harus memiliki Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability). Karena sertifikasi dalam industri pariwisata merupakan sebagai bukti kepada wisatawan bahwa produk dan pelayanan yang diterima sudah sesuai standar, seperti penerapan protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan.