REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Sejumlah anggota Badan Anggaran DPRD Jabar mengkhawatirkan anjloknya nilai APBD Jabar tahun 2025 hingga Rp 6 triliun. Kekhawatiran itu dipicu oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Anggota Badan Anggaran DPRD Jabar dari Fraksi Gerindra Persatuan Daddy Rohanady mengatakan, UU 1/2022 secara efektif akan berlaku pada 2025. Dalam payung itu, dirinya menjelaskan, terdapat pola bagi hasil dari sejumlah pajak antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Sebelumnya, ungkap dia, rata-rata porsi bagi hasil dari sejumlah pajak yaitu 30 persen untuk pemkab/pemkot dan 70 persen untuk pemprov. Dengan berlakunya UU 1/2022, maka porsi bagi hasil dari sejumlah pajak tersebut menjadi, yaitu 60 persen untuk pemkab/pemkot dan hanya 40 persen untuk pemprov.
Dengan skema tersebut, menurut Daddy, maka pendapatan APBD Jabar di 2025 berpotensi hilang hingga Rp 6 triliun. ‘’Akan terjadi turbulensi pada APBD Jabar 2025, potensi penurunan pendapatan hingga Rp 6 triliun,’’ ujar dia usai mengikuti sidang paripurna DPRD Jabar di Kantor DPRD Jabar, Jumat (12/7/2024).
Daddy menyatakan, risiko dari penurunan pendapatan tersebut akan ada sejumlah pos belanja yang terkurangi. Pihaknya khawatir kondisi tersebut akan mengurangi sektor pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Meski demikian, papar Daddy, sebagai solusinya maka dibutuhkan peningkatan sumber pendapatan dari sektor lain. Misalnya, kata dia, dividen dari BUMD Provinsi Jabar harus lebih ditingkatkan.
‘’Saat ini hanya ada dua BUMD Jabar yang untung, yaitu Bank BJB dan MUJ. Sementara BUMD lainnya masih menjadi beban APBD,’’ tambah Daddy. Pihaknya sempat mengusulkan agar BUMD yang merugi dibubarkan atau digabungkan (merger). Tujuannya, imbuh dia, agar BUMD tersebut tidak terus-menerus membebani APBD.
Upaya lain, menurut Daddy, Pemprov Jabar harus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak atau pendapatan, khususnya pph 21 dan pph badan 25. Saat ini, ungkap dia, banyak industri yang berdomisili di Provinsi Jabar, namun pph 21 dan pph badan 25 masuk ke APBD DKI Jakarta, hanya karena kantor direksinya berdomisili di DKI Jakarta.
‘’Kami berharap pemerintah pusat legowo mengeluarkan regulasi tentang satu paket domisili antara lokasi industri dan pajaknya,’’ sebut Daddy. Dengan upaya-upaya tersebut, maka potensi kehilangan pendapatan karena UU HKPD akan tergantikan.