Selasa 15 Oct 2024 17:01 WIB

Kualitas Udara Jakarta dan Bogor Memburuk, Kemacetan Lalu Lintas Jadi Biang Keroknya

Sejak transportasi dan industri berkembang, di situlah kualitas udara mulai memburuk.

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
Suasana kepadatan kendaraan menuju kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/7/2023). Polres Bogor memprediksi pada hari Sabtu (1/7) sebagai puncak arus liburan Idul Adha 1444 Hijriah sehingga pihak kepolisian  memberlakukan rekayasa lalu lintas sistem satu arah, sistem lawan arus di keluar Tol Ciawi serta ganjil genap kendaraan menuju kawasan wisata Puncak Bogor, untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Suasana kepadatan kendaraan menuju kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/7/2023). Polres Bogor memprediksi pada hari Sabtu (1/7) sebagai puncak arus liburan Idul Adha 1444 Hijriah sehingga pihak kepolisian memberlakukan rekayasa lalu lintas sistem satu arah, sistem lawan arus di keluar Tol Ciawi serta ganjil genap kendaraan menuju kawasan wisata Puncak Bogor, untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kualitas udara di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya mulai memburuk. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut kemacetan lalu lintas menjadi salah satu biang kerok memburuknya kualitas udara.

Selain masalah transportasi yang menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi di perkotaan, kualitas bahan bakar yang tidak sesuai standar juga memperparah situasi. Sekretaris Utama BMKG, Dwi Budi menyoroti buruknya kualitas udara yang terus memburuk sejak Revolusi Industri. Menurutnya, aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor dan operasi pabrik tanpa penyaring cerobong asap menjadi penyebab utama.

"Sejak transportasi dan industri mulai berkembang, di situlah kualitas udara mulai memburuk," kata Dwi Budi di sela Climate & Air Quality Fair 2024 BMKG, Selasa (15/10/2024).

Ia menjelaskan, di Indonesia, kota-kota besar dengan tingkat kemacetan tinggi seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan memiliki kualitas udara paling buruk. Data BMKG menunjukkan transportasi merupakan penyumbang terbesar polusi udara di kota-kota tersebut, diperparah kualitas bahan bakar yang tidak sesuai standar.

"Kita seharusnya sudah menggunakan bahan bakar standar Euro 4, namun masih banyak bahan bakar dengan sulfur tinggi yang berdampak besar pada kualitas udara," jelasnya.

Lebih lanjut, Dwi Budi menekankan bahwa daerah pegunungan yang lebih sedikit aktivitas manusianya cenderung memiliki kualitas udara yang lebih baik. Namun, faktor cuaca seperti angin kencang dan hujan dapat membantu mengurangi polusi udara di kota-kota besar.

Dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Dwi Budi menyebutkan bahwa BMKG bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan upaya pencegahan dengan teknologi modifikasi cuaca.

"Kami menggunakan citra satelit untuk memantau hotspot di wilayah rawan karhutla dan melakukan penyiraman di daerah tersebut sebelum kebakaran terjadi," katanya.

BMKG juga secara aktif memantau kualitas udara di beberapa lokasi strategis. Pengukuran dilakukan di enam lokasi, termasuk Jakarta dan Bogor sebagai daerah urban, serta Muaro Jambi yang terdampak karhutla. Dwi Budi menekankan bahwa data ini penting untuk memahami bagaimana aktivitas manusia mempengaruhi perubahan iklim.

Dengan langkah-langkah ini, Dwi Budi berharap BMKG dapat berkontribusi lebih dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Berdasar data Kedeputian Klimatologi BMKG  terdapat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan komposisi kimia atmosfer yang telah diyakini secara ilmiah dapat mengubah sistem iklim.

BMKG mengatakan permasalahan perubahan komposisi kimia atmosfer atau yang lebih dikenal dengan istilah kualitas udara, telah dirasakan sejak era revolusi industri yaitu dimulai dengan adanya fenomena hujan asam, penipisan lapisan ozon, dan polusi udara.

BMKG menambahkan data GRK dan kualitas udara diperlukan untuk melihat bagaimana pengaruh aktivitas manusia terhadap meningkatnya konsentrasi GRK yang memicu perubahan iklim.

Hingga saat ini BMKG  melakukan pemantauan GRK dan juga kualitas udara pada enam lokasi, yaitu: di tiga lokasi di daerah: Bukit Kototabang di Sumatera, Bariri di Sulawesi, Sorong di Papua; dua lokasi di daerah perkotaan: BMKG Pusat di Jakarta,dan Cibeureum di Bogor; serta datu lokasi sebagai wilayah terdampak Karhutla: Muaro Jambi di Jambi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement