REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Calon Wakil Wali Kota Bandung nomor urut 3 Erwin menjadi sorotan seusai debat publik terakhir pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kota Bandung. Karena, dalam debat tersebut Erwin menggunakan kata paeh (Mati dalam bahasa Sunda kasar) yang diperuntukan bagi masyarakat dalam kondisi gawat darurat atau perlu penanganan medis secara cepat.
Momen itu terjadi saat Erwin menyanggah pernyataan semua Paslon soal pembahasan Universal Health Coverage (UHC). Secara umum UHC merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.
"Proses UHC kalau belum sakit parah prosesnya ke puskesmas dulu, baru masuk dinkes untuk validasi. Kalau sudah mau 'paeh', bisa langsung masuk IGD rumah sakit dengan menunjukkan KTP melalui SKTM atau kartu keluarga," ujar Erwin.
Merespons hal tersebut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Prof Dr Cece Sobarna M Hum menyayangkan adanya penggunaan bahasa paeh di ruang publik. Ia menilai, tidak elok kata paeh digunakan pada ruang publik, apalagi debat Pilkada 2024 yang ditonton ribuan masyarakat di Kota Bandung baik secara langsung maupun melalui saluran televisi.
"Kata paeh ini kalau memang park erwin tidak tau, kalau di ruang publik kurang tepat karena kata paeh ini kalau digunakan pada audiens yang sangat heterogen masih ada jarak sosial," kata Prof Cece kepada media, Kamis (21/11/2024).
Sejatinya, kata Prof Cece, terdapat tingkatan tutur dalam bahasa Sunda yaitu kasar, sedang dan halus. Adapun kata paeh ini masuk dalam kategori kasar. "Jadi dalam bahasa Sunda itu kan ada tingkat tutur, memang ada sekelompok kata yang memiliki tingkatan kasar, sedang dan halus. Nah terkait dengan kata paeh ini berada pada tingkat kasar," ujar Prof Cece.
Prof Cece pun menyarankan pemilihan kata yang lebih netral jika ingin digunakan pada ruang publik yang memiliki latar belakang heterogen yaitu 'maot'. "Untuk komsumsi publik, apalagi ditonton oleh masyarakat luas akan lebih tepat untuk tidak digunakan, ada yang lebih netral maot misalnya. Netral itu cukup dengan maot karena audiensnya heterogen. Kalau di ruang publik gunakan kata netral saja," katanya.
Atas kejadian tersebut, Cece pun mengingatkan betapa pentingnya pemahaman tingkat tutur bahasa Sunda, khususnya untuk calon atau pejabat publik di Jabar. "Jangan disepelekan tingkat tutur bahasa itu, karena ini bagian dari strategi komunikasi, etika berbahasa di dalamnya (khususnya untuk pejabat)," kata Prof Cece.