REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengganti nama RSUD Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih menuai sorotan tajam dari kalangan legislatif. Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf Erwinsyah menilai, kebijakan tersebut tidak memiliki urgensi dan berpotensi mengalihkan perhatian publik dari persoalan substansial dalam sektor kesehatan.
Menurut Maulana Yusuf, penggantian nama rumah sakit memang menjadi kewenangan eksekutif. Namun, ia mengingatkan bahwa kewenangan tersebut seharusnya digunakan dengan mempertimbangkan skala prioritas dan dampak langsung terhadap masyarakat.
"Kita tidak mempermasalahkan kewenangan. Tapi mengganti nama RSUD Al-Ihsan saat masih banyak persoalan layanan kesehatan yang mendesak, menunjukkan ketidaktepatan dalam menentukan prioritas," ujar Maulana kepada Republika, Rabu (2/7/25).
Maulana pun menyoroti berbagai keluhan yang masih kerap disampaikan masyarakat terkait RSUD. Seperti antrean pasien yang mengular, keterbatasan fasilitas rawat inap, hingga minimnya tenaga medis dan peralatan yang tidak memadai.
"RSUD itu bukan soal nama, tapi soal nyawa. Di saat masyarakat masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang layak, apakah pantas pemerintah justru sibuk mengurus soal nama?" katanya.
Lebih jauh, Maulana Yusuf juga mengingatkan akan konsekuensi administratif dan anggaran dari perubahan nama institusi publik. Ia menilai, perubahan nama akan berdampak pada sistem informasi rumah sakit, dokumen hukum, papan nama, serta publikasi dan sosialisasi ulang ke masyarakat, yang semuanya memerlukan biaya tidak sedikit.
"Itu semua butuh anggaran. Sementara kita tahu APBD masih terbatas, dan bahkan Pemprov Jabar punya utang ke BPJS mencapai Rp300 miliar. Di tengah kondisi seperti itu, penggantian nama berpotensi menjadi pemborosan dan melenceng dari prinsip efisiensi yang digaungkan sendiri oleh Gubernur," katanya.
Maulana mengusulkan agar nilai "Welas Asih" lebih tepat dijadikan sebagai semboyan pelayanan atau jargon internal yang merepresentasikan kearifan lokal, tanpa harus mengubah nama resmi rumah sakit yang sudah dikenal luas.
"Welas Asih itu sangat mulia secara makna. Tapi lebih bijak bila dijadikan semangat pelayanan, bukan mengganti nama yang sudah mapan dan melekat di hati masyarakat," katanya.
Menurutnya, yang lebih penting lagi adalah keputusan semacam ini seharusnya dikaji secara matang dan partisipatif, melibatkan berbagai pihak mulai dari tenaga medis, pakar kesehatan, hingga masyarakat pengguna layanan kesehatan. Namun hingga saat ini, pihak legislatif mengaku belum pernah diajak berdialog oleh pihak eksekutif terkait wacana penggantian nama tersebut.
"Untuk saat ini, kami di Komisi V belum pernah dilibatkan dalam proses penggantian nama atau diskusi formal terkait perubahan nama RSUD Al-Ihsan. Ini tentu menjadi catatan penting soal transparansi dan pelibatan pemangku kepentingan," kata Maulana.
Ia pun menegaskan bahwa Komisi V siap memberikan masukan dan duduk bersama membahas upaya perbaikan layanan kesehatan di Jawa Barat, namun menolak apabila perhatian publik harus terpecah pada hal-hal yang bersifat simbolik.
"Kami dorong fokus pada pembenahan layanan dasar, seperti distribusi tenaga medis, ketersediaan obat dan fasilitas, serta akses masyarakat ke pelayanan yang layak. Jangan sampai perhatian publik dialihkan oleh isu yang tidak menyentuh akar masalah," katanya.