REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Ratusan warung di sepanjang Jalan Raya Tangkuban Parahu-Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat sudah rata dengan tanah. Warung-warung yang berdiri di lahan PTPN VIII Ciater itu dibongkar Pemprov Jabar dengan alasan penataan.
Pembongkaran warung ini pun merupakan instruksi Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi untuk menertibkan bangunan liar di sepanjang jalan provinsi. Bangunan yang ditertibkan mayoritas merupakan penjual nanas, tempat ngopi, hingga makanan sederhana.
Awal mula keberadaan warung-warung di kawasan wisata itu diceritakan Iwan (50), salah seorang pedagang. Menurutnya, bangunan semi permanen ini dibangun oleh para mantan pekerja perkebunan yang kehilangan pekerjaan akibat krisis moneter pada akhir 1990-an. Mereka kemudian mencari penghidupan baru dengan berjualan di pinggir jalan.
"Dulu ada penjemputan kerja ke perkebunan PTPN. Setelah krisis moneter tahun 1998, banyak yang diberhentikan. Akhirnya kami bikin warung di pinggir jalan," ujar Iwan, Senin (18/8/2025).
Mulanya, kata dia, terdapat sekitar 60 warung berukuran seragam 2x4 meter di sepanjang jalur Tangkuban Parahu hingga Dayang Sumbi Subang. Semuanya dibangun secara semi permanen dari kayu dan seng sesuai kesepakatan tidak tertulis dengan pihak PTPN. Mereka diizinkan membangun asal bersedia membongkar kapan pun jika dibutuhkan perusahaan.
Saat itu, pemandian air panas Ciater mulai populer sebagai destinasi wisata. Momentum ini dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka usaha kecil menyasar wisatawan maupun pengendara yang melintas. "Dari awal kami sudah tahu ini bukan tanah milik pribadi. Jadi kami siap kalau suatu saat diminta untuk bongkar," katanya.
Pembongkaran warung atau kios itupun begitu mengguncang perekonimian Enur (60), seorang ibu rumah tangga asal Kampung Cikawari, Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ia mengaku sudah 15 tahun menggantungkan hidupnya dengan berjualan kopi, mie instan, nasi, bensin eceran, hingga tambal ban. Namun, seluruh kios tersebut kini sudah rata dengan tanah.
"Kami sudah 15 tahun berjualan di sini. Sekarang sudah dibongkar, kami bingung harus pindah ke mana," kata dia.
Enur mengaku telah didata oleh pihak berwenang dan dijanjikan akan direlokasi bersama pedagang lainnya. Enur berharap pemerintah segera memberikan kejelasan soal relokasi agar mereka bisa kembali menjalankan usaha dan memiliki tempat tinggal yang layak. "Kami tidak menolak ditertibkan, tapi tolong bantu kami juga untuk bisa melanjutkan hidup," katanya.