Oleh: Taufik Nurrohim, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat - Fraksi PKB, Wasekjend PB PMII 2017-2019, Ketua PC PMII Kota Bandung 2012-2014
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- DPR resmi mengesahkan UU APBN 2026 dengan belanja negara sebesar Rp 3.842,73 triliun, pendapatan Rp 3.153,58 triliun, dan defisit Rp 689,15 triliun atau 2,68 persen dari PDB.
Angka-angka ini bukan sekadar angka administratif, melainkan tanda bahwa anggaran terbesar tahun depan akan dipakai sebagai instrumen keadilan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi kuantitatif semata.
Kompas Konstitusi
“Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah rancang bangun kami dalam membangun bangsa. Kekayaan negara dan cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Demikian Presiden Prabowo Subianto menegaskan dalam pidato penyampaian RAPBN 2026 di Gedung Nusantara, 15 Agustus 2025.
Pidato itu menempatkan APBN bukan sekadar neraca fiskal, melainkan instrumen politik untuk menghadirkan negara di tengah rakyat—sebuah reposisi ideologis kembali ke Pasal 33 sebagai kompas pembangunan.
Sejak reformasi, amanat ini terlalu sering dipinggirkan. Privatisasi dan liberalisasi membuat cabang produksi vital terlepas dari kendali negara.
Rakyat kecil tetap menanggung mahalnya pangan dan energi, sementara segelintir oligarki menumpuk keuntungan. Prabowo menyebut wajah zaman itu dengan istilah telak: serakahnomics.
Pasal 33 : Kompas Konstitusi yang Dihidupkan Kembali
Jauh sebelum Prabowo menghidupkan Pasal 33, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah menafsirkan pasal itu secara radikal.
Dalam Kongres Pertama yang dikenal Deklarasi Tawangmangu 1961, PMII menegaskan bahwa penderitaan rakyat lahir dari kolonialisme, kapitalisme, dan diktatorisme; jalan keluarnya adalah sosialisme Indonesia sebagai pengejawantahan UUD 1945.
Prinsipnya jelas: cabang produksi vital dikuasai negara; sektor menengah–ringan dikelola rakyat dengan tanggung jawab sosial; industrialisasi mutlak, namun berasaskan kekeluargaan dan ta’awun.
Dua tahun kemudian, Penegasan Yogyakarta 1963 memperkaya tafsir itu dengan nilai Islam: menolak monopoli, riba, dan penimbunan; menegaskan hak fakir miskin atas harta orang kaya; serta menjadikan gotong royong sebagai asas ekonomi—bahkan mengingatkan, kemiskinan adalah ancaman iman sehingga penghapusannya wajib secara moral dan politik.
Kedua dokumen itu menunjukkan PMII bukan sekadar organisasi mahasiswa, melainkan produsen gagasan ekonomi kerakyatan; khittah ekonomi yang kelak terbukti menjadi koreksi dini atas neoliberalisme pascareformasi.
Reformasi yang Gagal dan Mandat Historis Keadilan Sosial
Reformasi 1998 menghadirkan demokrasi prosedural, tetapi gagal mewujudkan keadilan sosial. Pasar bebas diagungkan; BUMN dipaksa mengejar logika komersial; investasi asing didorong tanpa tegas memastikan distribusi.
Rakyat menyaksikan tanah dikuasai korporasi, harga pangan dikendalikan kartel, dan kebijakan publik kerap tersandera kekuatan modal. Dalam cermin inilah khittah PMII menemukan kembali relevansinya: koreksi ideologis atas arah pembangunan yang melenceng dari Pasal 33.
Prabowonomics, Nasionalisme Ekonomi, dan APBN 2026
Wajah Prabowonomics terbaca gamblang dalam pidato RAPBN 2026: nasionalisme ekonomi, agenda populis, ekonomi kerakyatan, dan reformasi BUMN—semuanya dalam bingkai Pasal 33.
Pertama, nasionalisme ekonomi. Hilirisasi SDA digenjot; ketahanan pangan dialokasikan besar (sekitar Rp 164,4 triliun), ketahanan energi sekitar Rp 402,4 triliun untuk subsidi, percepatan EBT, dan listrik desa. Negara menegaskan kembali kedaulatannya: kekayaan dikelola demi rakyat, bukan segelintir elite.
Kedua, program populis pro-rakyat, di antaranya:
*Makan Bergizi Gratis: kurang lebih Rp 335 triliun ditujukan hingga 82,9 juta siswa—sekali dayung, gizi anak naik, ekonomi lokal (petani–nelayan–UMKM) bergerak.
*Pendidikan: kurang lebih Rp 757,8 triliun untuk 2026, dari PIP–KIP Kuliah hingga penguatan Sekolah Rakyat dan LPDP.
*Kesehatan: kurang lebih Rp 244 triliun untuk JKN, Cek Kesehatan Gratis, percepatan penurunan stunting, dan revitalisasi fasilitas kesehatan—96,8 juta penduduk miskin/rentan ditanggung premi JKN oleh negara.
*Perumahan Rakyat: Program 3 Juta Rumah dilanjutkan melalui skema FLPP, BSPS, serta PPN DTP untuk rumah komersial. Total 770 ribu unit rumah mendapat dukungan APBN 2026. Hunian layak adalah prasyarat kesejahteraan kelas pekerja dan generasi muda, sekaligus lokomotif rantai pasok bahan bangunan dan tenaga kerja konstruksi.
Ketiga, ekonomi kerakyatan. Sebanyak 80 ribu koperasi desa/kelurahan dibentuk dengan akses pembiayaan murah; negara ingin menghapus lintah darat dan mengembalikan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.
Keempat, reformasi BUMN (ditegaskan: Danantara). Tantiem komisaris–direksi yang berlebihan dipangkas; aset negara dipaksa memberi imbal hasil nyata; dan Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia diposisikan sebagai mesin transformasi—mengonsolidasikan kepemilikan negara di BUMN strategis dan mengarahkan investasi jangka panjang (dari hilirisasi nikel–bauksit–tembaga, energi bersih, hingga pangan).
Danantara diluncurkan 2025 sebagai sovereign wealth fund baru yang terpisah dari INA, menargetkan investasi awal 20 miliar dolar AS dan mengelola portofolio besar kepemilikan pemerintah di BUMN—dengan mandat tata kelola yang transparan.
Arsitektur RAPBN 2026 sendiri disiplin: belanja Rp 3.786,5 triliun, pendapatan Rp 3.147,7 triliun, defisit 2,48 persen PDB—namun tetap pro-rakyat.
Presiden bahkan menargetkan APBN tanpa defisit pada 2027–2028: bukan sekadar ambisi teknokratis, melainkan pernyataan politik bahwa jika aset negara dikelola sesuai Pasal 33, kesejahteraan bisa ditempuh tanpa menambah beban utang.
Dari Mandat Konstitusi Menuju Arah Ekonomi Indonesia
Jika Pasal 33 adalah kompas, Khittah PMII adalah tafsir ideologis, Prabowonomics adalah strategi, maka APBN 2026 adalah instrumen praksis. Ketiganya menyatu sebagai koreksi atas kegagalan reformasi: demokrasi tanpa keadilan ekonomi, pertumbuhan tanpa pemerataan, pembangunan timpang desa–kota.
Arah yang harus ditempuh jelas: kedaulatan pangan–energi–SDA; ekonomi berbasis koperasi & UMKM; distribusi adil lewat pajak progresif dan belanja sosial; serta penegakan hukum melawan serakahnomics—dari kartel pangan hingga monopoli logistik.
PMII dan Mandat Historis - Ideologis
Sejak 1961, dalam kongresnya yang pertama PMII sudah mengingatkan bangsa ini: kapitalisme tanpa kendali hanya melahirkan penderitaan; ekonomi kerakyatan berasaskan Pasal 33 adalah jalan keselamatan. Enam dekade kemudian, gagasan itu mendapat panggung baru lewat Prabowonomics dan APBN 2026.
Pertanyaannya kini: apakah khittah itu sungguh dijalankan, atau berhenti sebagai jargon? Bila konsisten, Indonesia sedang menapaki babak baru: ekonomi Pasal 33—ekonomi kerakyatan—ekonomi gotong royong. Bukan sekadar tumbuh, tetapi adil dan membebaskan. Wallahu A'lam Bishawab