Rabu 22 Oct 2025 14:37 WIB

Taufik Nurrohim Sebut Hari Santri Momentum Teguhkan Spirit Tradisi di Era Modernitas

Pesantren adalah jantung pengetahuan, tempat akal dan moral berpadu menjaga martabat.

Rep: Muhammad Taufik/ Red: Dwi Murdaningsih
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Taufik Nurrohim.
Foto: istimewa
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Taufik Nurrohim.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Taufik Nurrohim menegaskan peringatan Hari Santri Nasional bukan semata seremoni tahunan. Menurut dia, Hari Santri Nasional merupakan momentum untuk meneguhkan kembali makna tradisi, spiritualitas, dan moralitas di tengah derasnya arus modernitas.

Dia mengatakan, Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober merupakan wujud pengakuan negara atas peran besar pesantren dalam perjuangan kemerdekaan. Hal ini merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, yang menetapkan tanggal tersebut untuk mengenang Resolusi Jihad yang diserukan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

“Pada saat itu, ribuan santri bangkit mempertahankan kemerdekaan. Iman menjelma menjadi kekuatan politik pembebasan,” ujar Taufik di Bandung, Rabu (22/10/25).

Ia menilai, setelah delapan dekade, pesantren kini menghadapi tantangan baru. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan hegemoni modernitas, pesantren kerap disalahpahami sebagai simbol keterbelakangan.

“Kritik terhadap pesantren sering lahir dari ketidaktahuan epistemik. Padahal pesantren adalah jantung pengetahuan rakyat, tempat akal dan moral berpadu menjaga martabat bangsa,” kata dia.

Menurut Taufik, modernitas tanpa tradisi akan melahirkan pembangunan tanpa akar. Pesantren, katanya, menjadi ruang hening di tengah kebisingan dunia modern, tempat manusia belajar mengenali diri sekaligus menata hati dan pikirannya.

“Pesantren adalah ruang sunyi yang terus menyalakan nurani bangsa,” tambahnya.

Taufik menuturkan, pesantren sejatinya lahir dari perjumpaan Islam dan kebudayaan lokal. Ia bukan hanya lembaga keagamaan, melainkan juga bentuk politik pengetahuan rakyat.

“Ketika kolonialisme membangun sekolah untuk melahirkan birokrat, pesantren membangun manusia beradab,” ujarnya.

Ia mencontohkan gagasan KH Abdul Wahab Hasbullah melalui Tashwirul Afkar pada 1914, yang menjadi jembatan antara Islam dan modernitas tanpa kehilangan ruh spiritual. Dari sana lahir Nahdlatul Ulama pada 1926 sebagai gerakan kebangsaan yang berpijak pada nilai-nilai keagamaan.

“Pesantren membalik logika kolonial yang menjadikan ilmu bukan alat kuasa, tetapi alat pembebasan. Di situlah letak kedewasaan peradaban,” kata Taufik.

Taufik memandang pesantren sebagai subkultur yang hidup dalam dunia nilai yang berdiri sendiri. Istilah seperti ngaji, khidmah, dan ta’dzim, menurutnya, bukan sekadar praktik, tetapi kosakata epistemologis yang mencerminkan cara manusia memahami ilmu dan kebenaran.

“Pesantren adalah masyarakat dalam masyarakat atau paru-paru moral bangsa yang menjaga kehidupan sosial di tengah tekanan industrialisme dan birokrasi,” ujarnya.

Ia menegaskan, pesantren merupakan bentuk modernitas tandingan yang tumbuh dari bawah. Berbeda dengan model Barat yang menyingkirkan nilai-nilai sakral, pesantren justru menyatukan rasio dan spiritualitas.

“Ia memproduksi pengetahuan tanpa kekuasaan, dengan modal barokah dan keikhlasan,” kata Taufik.

Taufik juga menepis pandangan yang menyebut pesantren bersifat feodal. Menurutnya, penghormatan santri kepada kiai bukan bentuk penaklukan, melainkan pengakuan terhadap ilmu.

“Hubungan kiai dan santri adalah hubungan nilai, bukan kekuasaan. Kiai dihormati karena keilmuannya, santri patuh karena ingin meneladani,” kata dia.

Ia menambahkan, adab di pesantren justru lahir dari nilai tauhid, yang menolak segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. “Penghormatan di pesantren adalah refleksi iman, bukan feodalisme,” tegasnya.

Taufik mengingatkan tentang bahaya industrialisasi pendidikan yang menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan. “Sekolah mengejar akreditasi, universitas memburu peringkat global, dan murid diukur dari angka, bukan akhlak,” ujarnya.

Menurutnya, pesantren menolak menjadi bagian dari sistem pendidikan yang dikendalikan pasar. “Pesantren tidak mencetak buruh korporasi, tetapi manusia beradab. Ukuran keberhasilan bukan skor ujian, melainkan perubahan akhlak,” katanya.

Ia juga mengutip pandangan KH Sahal Mahfudh bahwa kemandirian pesantren terletak pada kemampuannya menghidupi diri tanpa kehilangan nilai.

Taufik menegaskan bahwa Hari Santri harus dimaknai sebagai momentum revolusi moral nasional.

“Ketika bangsa kehilangan arah, pesantren tetap menjadi penuntun sunyi, membangun manusia dengan sabar, menanamkan nilai tanpa pamrih, dan menjaga nurani di tengah banjir informasi,” kata Taufik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement