Selasa 16 Feb 2021 15:19 WIB

Busyro: Kenapa yang Dicap Radikal Selalu Orang Islam?

FH UMM membahas ekstremisme, radikalisme, dan terorisme di Indonesia.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Busyro Muqoddas di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Busyro Muqoddas di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Isu ekstremisme sangat dekat dan kerap dibincangkan masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, masyarakat sendiri belum mengetahui dengan baik tentang perbedaan ekstremisme, radikalisme, maupun terorisme. Hal itu menyebabkan masyarakat mudah menandai suatu golongan sebagai ekstremisme.

Melihat realitas sosial tersebut, Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan webinar bertema menggugat eksistensi ektremisme di Indonesia dan regulasinya. Acara digelar Senin (15/2) melalui kanal zoom dan Youtube.

Sebagai pemateri adalah Guru Besar FH Universitas Diponegoro Suteki, Wakil Rektor IV UMM Sidik Sunaryo, dan Guru Besar FH Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti. Turut hadir Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Busyro Muqoddas, selaku keynote speaker.

Dalam pemaparannya, Busyro menceritakan pengalamannya mendampingi para korban yang dicap radikal sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Melalui pengalaman tersebut, Busyro yang pernah menjadi pengacara kasus Komando Jihad melihat sebagian masyarakat cenderung mengaitkan Islam dengan radikalisme.

"Selama ini yang dicap radikal itu kenapa selalu orang Islam? Hanya umat Islam saja yang sering dijadikan terdakwa permanen sejak Orde Baru hingga sekarang,” kata Busyro menggugat.

Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengingatkan semua pihak untuk tidak mudah mengecap orang lain radikal. "Seharusnya dalam memberi label radikal atau ekstremisme kepada seseorang, masyarakat maupun para penegak hukum lebih berhati-hati," kata Busryo.

Prof Suteki mengatakan,konsep radikalisme di undang-undang (UU) bersifat lentur dan tidak jelas. Hanya karena berbeda pendapat dengan mayoritas maupun penguasa, sambung dia, tak lantas orang kritis tersebut bisa diberi label ekstremisme, radikalisme, maupun teroris.

"Saya sering dikatakan radikalisme maupun ekstremisme hanya karena pendapat saya berbeda dari suatu golongan. Padahal saya telah memberikan sudut pandang dari kajian ilmiah dan menjelaskan bahwa pendapat tersebut salah. Ketika mencoba mendeskripsikan radikalisme menurut UU-pun sifatnya sangat lentur sekali," ujarnya.

Wakil Rektor I UMM Syamsul Arifin, mengapresiasi, diselenggarakannya webinar yang mengusung tema menarik ini. Menurut Syamsul, topik radikalisme tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif saja.

“Isu ini tidak cukup untuk dikaji dari satu perspektif saja. Oleh karena itu, saya sangat senang webinar ini menghadirkan para pemateri yang sangat hebat di bidang masing-masing,” ujar Syamsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement