Selasa 06 Apr 2021 06:39 WIB

Vendor Akui Dibantu Terdakwa Kasus Bansos Covid-19

MAKI jelaskan 30 izin penggeledahan kasus bansos yang diabaikan KPK.

Rep: Dian Fath Risalah, Bambang Noroyono/ Red: Ilham Tirta
Jurnalis merekam sidang perdana terdakwa penyuap mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara, Hary Van Sidabukke yang digelar secara virtual dari Pengadilan Tipikor di gedung KPK, Jakarta, Rabu (24/2/2021). Sidang perdana tersebut beragenda pembacaan dakwaan kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 dengan terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar.
Foto: Antara/Reno Esnir
Jurnalis merekam sidang perdana terdakwa penyuap mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara, Hary Van Sidabukke yang digelar secara virtual dari Pengadilan Tipikor di gedung KPK, Jakarta, Rabu (24/2/2021). Sidang perdana tersebut beragenda pembacaan dakwaan kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 dengan terdakwa Harry Van Sidabukke dan Ardian Iskandar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur PT Hamonangan Sude, Rajif Bachtiar Amin mengungkapkan, terdakwa Harry Van Sidabukke dan mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso memiliki kewenangan yang sebanding dalam menangani proyek di Kemensos. Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan perkara korupsi Bansos Covid-19 dengan terdakwa Harry Van Sidabukke di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/4).

Sebagai calon vendor pengadaan bansos, Rajif mengaku anak buahnya sempat mengeluh kesulitan mendapat tanda tangan Matheus sebagai PPK pengadaan bantuan sosial (bansos) di Kemensos. Namun, tanda tangan itu dengan mudah didapat saat terdakwa Harry yang memintanya.

"Pernah tidak stafnya saksi bernama Siska mengeluh tidak pernah mendapat tanda tangan Pak Joko (Matheus), kecuali Harry yang meminta?" tanya terdakwa Harry kepada Rajif.

Rajif mengakui, tanda tangan surat penunjukan penyedia barang dan jasa (SPPBJ) itu sulit didapatkan. Tetapi jika Harry yang meminta tanda tangan ke Matheus tidak sulit. "Pernah, saya lupa pastinya. Kayaknya lebih dari satu kali," kata Rajif.

"Jadi betul harus saya ya yang memintakan?" telisik Harry. "Iya betul," jawab Rajif.

Harry Van Sidabukke yang berprofesi sebagai konsultan hukum didakwa menyuap mantan menteri sosial Juliari Peter Batubara, Adi Wahyono, dan Matheus Joko Santoso sebesar Rp 1,28 miliar.  Suap agar para pejabat itu membantu penunjukan PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude sebagai penyedia bansos sembako Covid-19 sebanyak 1.519.256 paket.

Terdakwa lain dalam kasus tersebut adalah Direktur Utama PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja yang dituding menyuap Juliari Cs Rp 1,95 miliar karena mendapat sebanyak 115.000 paket sembako.

Dalam sidang sebelumnya, Matheus Joko Santoso mengaku diminta oleh mengumpulkan uang fee dari vendor bansos sebesar Rp 35 miliar. Hal itu disampaikan tersangka Adi Wahyono atas permintaan Juliari Batubara. Namun, jumlah yang dapat dikumpulkan Matheus Rp 14,7 miliar berasal dari pemungutan Rp 10 ribu per paket sembako.

Juliari dalam sidang pada Senin (22/4) membantah memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan fee tersebut. "Tidak pernah perintahkan fee Rp 10 ribu per paket," kata Juliari.

Telantarkan 20 izin

 

Terpisah, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menuduh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha menghentikan penyidikan tuntas kasus bansos tersebut. Dugaan itu dikuatkan dengan penelantaran izin penggeledahan oleh KPK.

“Menyatakan secara hukum, termohon (KPK) telah melakukan tindakan penghentian penyidikan secara materil, dan diam-diam yang tidak sah menurut hukum,” kata Kordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/4).

Kata Boyamin, Dewan Pengawas KPK telah menerbitkan 30 izin penggeladahan terkait kasis bansos. Akan tetapi, KPK tak menindaklanjuti izin penggeledahan tersebut. Salah satu izin penggeledahan yang diabaikan KPK yakni terkait politikus PDI Perjuangan Ihsan Yunus dan pengusaha Agustri Yogasmara.

Dua nama tersebut, kata Boyamin, belum pernah diperiksa di KPK terkait perkara. “Bahwa oleh karena penghentian penyidikan atas perkara a quo tidak sah, dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya. Maka, selanjutnya, agar hakim praperadilan memerintahkan termohon KPK, melakukan proses hukum selanjutnya dengan ketentuan hukum, dan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Boyamin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement