REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani mengritisi surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Ia menilai tindakan KPK menghentikan penyidikan tersangka kasus yang merugikan negara 4,58 triliun itu tidak tepat.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, kata dia, lembaga antirasuah itu memang memiliki kewenangan mengeluarkan SP3. Namun, kedua tersangka yang dibebaskan dari status tersangka belum diperiksa oleh KPK.
"Statusnya in absentia. Nah, orang-orang, katakanlah, tidak kooperatif dalam menghadapi proses-proses penegakan hukum kok malah dijadikan contoh kasus SP3 yang pertama?" ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/4).
Ia juga menyoroti alasan SP3 berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Kasus tersebut, kata dia, bukan merupakan ranah pidana. Putusan MA tidak serta-merta harus diikuti KPK karena sistem peradilan di Indonesia tidak menganut yurisprudensi tetap.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada Kamis (1/4) mengatakan, penghentian penyidikan tersebut berdasarkan Pasal 40 UU KPK. KPK beralasan tidak bisa memenuhi syarat adanya tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara dalam perkara tersebut.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan, SP3 kasus BLBI akan menjadi momentum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPK. Komisi III, kata Hinca, berencana segera memanggil pimpinan dan Dewan Pengawas KPK agar agenda pemberantasan korupsi tidak tergadaikan oleh kepentingan orang tertentu yang justru merugikan keuangan negara.
"Lalu lintas argumentasi dan opini dari publik sudah semakin menggelembung dan jumlahnya sangat banyak, oleh kebijakan yang diambil KPK dalam mengeluarkan SP3 tersebut," ujar Hinca.
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Fathul Bari menilai langkah KPK itu tidak adil. Keputusan itu dinilai memperlihatkan tidak ada upaya serius KPK membongkar skandal BLBI. "Hal ini menjadi catatan kesekian kalinya dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama sejak revisi UU KPK hingga yang terakhir dengan turunnya indeks persepsi korupsi," ujarnya, Ahad (4/4).
Pakar hukum pidana Suparji Ahmad menilai SP3 terhadap Sjamsul dan istrinya menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Meski memiliki dasar hukum, KPK dinilai melangkah mundur. "Ini jelas menjadi preseden buruk dan catatan hitam dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Suparji, Ahad (4/4).
Suparji berharap SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, digugat ke pengadilan. Suparji mengaku akan mendukung jika ada pegiat antikorupsi yang mengajukan gugatan tersebut. "Karena penegakan tindak pidana korupsi harus baik dan benar secara prosedur," kata akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini.
Revisi UU KPK menjadi polemik sepanjang 2019 karena dinilai melemahkan KPK. Sebelum SP3 ini, KPK di awal kepemimpinan Firli Bahuri juga telah menghentikan 36 perkara di tingkat penyelidikan pada Februari 2020. KPK mengeklaim penghentian itu sesuai prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur UU KPK hasil revisi, tepatnya pasal 5.
Meski demikian, revisi UU KPK tersebut disetujui oleh hampir semua fraksi di DPR, termasuk Arsul Sani. Arsul menilai persepsi pelemahan KPK muncul karena selama ini tidak ada yang secara khusus mengawasi lembaga tersebut. "Nah, dalam RUU KPK akan dikasih Dewan Pengawas, maka KPK jadi tidak bebas lagi tanpa pengawasan," kata dia pada 7 September 2020.