Kamis 22 Apr 2021 06:27 WIB

Suap Bansos Covid Juliari Mencapai Rp 32 Miliar

Juliari perintahkan memungut Rp 10 ribu per paket sembako Covid-19.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ilham Tirta
Terdakwa kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19   yang juga mantan Menteri Sosial Juliari Batubara (kanan) berjalan usai sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (21/4/2021). Sidang beragendakan pembacaan dakwaan terkait kasus yang juga menyeret dua terdakwa lainnya, mantan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Terdakwa kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 yang juga mantan Menteri Sosial Juliari Batubara (kanan) berjalan usai sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (21/4/2021). Sidang beragendakan pembacaan dakwaan terkait kasus yang juga menyeret dua terdakwa lainnya, mantan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap sebesar Rp 32 miliar dari para pengusaha yang menggarap proyek pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) untuk penanganan Covid-19. Suap berkaitan dengan penunjukan sejumlah perusahaan penyedia paket bansos, di antaranya PT Pertani, PT Mandala Hamonganan Sude, dan PT Tigapilar Agro Utama.

Jaksa KPK Ikhsan Fernandi mengatakan, uang Rp 32 miliar itu diduga diterima Juliari melalui dua pejabat Kemensos yang menangani proyek Bansos, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Uang itu berasal dari seorang konsultan hukum Harry Van Sidabukke senilai Rp 1,28 miliar dan Presiden Direktur PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja sejumlah Rp 1,95 miliar. Pada Senin (19/4), dua penyuap Juliari itu dituntut empat tahun penjara.

Sementara uang Rp 29 miliar diterima dari 57 vendor atau pengusaha penyedia barang lainnya. Setelah fee itu dikumpulkan Matheus dan Adi, selanjutnya Juliari menerima secara bertahap hingga yang seluruhnya berjumlah Rp 14,7 miliar.

"Penerimaan uang fee Rp 29.252.000.000 dari beberapa penyedia barang lainnya dalam pengadaan Bansos Penanganan Covid-19," ujar Jaksa Ikhsan membacakan dakwaan Juliari di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/4).

Juliari, kata jaksa, memotong Rp 10 ribu dari setiap paket bansos. Pemotongan fee itu berawal saat Juliari menunjuk Adi Wahyono sebagai kuasa pengguna anggara (KPA) pada Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kemensos pada 2020.

"Setelah terdakwa (Juliari) menunjuk Adi Wahyono sebagai KPA, maka terdakwa memerintahkan agar Adi mengumpulkan uang fee sebesar Rp 10 ribu per paket dari penyedia guna kepentingan terdakwa," ujar jaksa Ikhsan. Mantan wakil bendahara umum PDI Perjuangan itu juga memerintahkan Adi berkoordinasi dengan Kukuh Ary Wibowo selaku Tim Teknis Mensos dalam pelaksanaan pengadaan bansos Covid-19.

Selanjutnya, Adi menyampaikan perintah dari Juliari tersebut kepada Sekretaris Jenderal Kemensos Hartono Laras, Dirjen Linjamsos Kemensos Pepen Nazaruddin, dan Matheus Joko Santoso. "Matheus kemudian mengumpulkan fee operasional dari para penyedia bansos guna biaya kegiatan operasional terdakwa dan kegiatan lainnya di Kemensos," kata jaksa. Jaksa mengungkapkan, Matheus menyimpan uang fee tersebut dalam sejumlah koper di rumahnya.

Soal keterlibatan Hartono Laras, jaksa menyebut Sekjen Kemensos itu pernah menghadiri pertemuan dengan Juliari dengan para pejabat lainnya pada 19 April 2021. Pertemuan itu membahas pelaksanaan bansos sembako berikut penentuan perusahaan yang akan ditunjuk sebagai penyedia barang. Hartono diduga mengetahui perintah Juliari mengumpulkan fee Rp 10 ribu karena dilaporkan Adi Wahyono.

Dalam dakwaan, Juliari juga disebut menggunakan sebagian uang suap untuk kepentingan daerah pemilihannya di Kabupaten Kendal dan Kabupaten/Kota Semarang. Matheus Joko menyerahkan senilai Rp 2 miliar kepada Adi pada November 2020 di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. "Selanjutnya Adi menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa (Juliari) melalui Eko Budi Santoso (Ajudan Juliari)," kata Ikhsan.

Dalam sidang terdakwa Ardian dan Harry, Juliari mengakui pernah memberikan uang 50 ribu dolar Singapura kepada Ketua DPC PDIP Kabupaten Kendal, Akhmad Suyuti. Namun, ia membantah uang tersebut bersumber dari hasil korupsi.

Penyuap tak didakwa

Kuasa Hukum Juliari, Maqdir Ismail menilai aneh dakwaan yang disampaikan jaksa KPK, khususnya terkait penerimaan Rp 29,252 miliar. Ia menyoal para pemberi suap itu tidak ada yang didakwa.

“Seperti yang saya sampaikan tadi, yang kami persoalkan adalah jumlah uang Rp 29 sekian miliar. Karena di dakwaan itu disebut, akan tetapi orangnya tidak pernah ada,” ujar Maqdir usai sidang, kemarin.

Menurut dia, jika benar uang sebesar Rp 29,252 miliar merupakan uang suap, harus diterangkan siapa penyuapnya. Kalaupun itu masuk dalam kategori suap pasif, kata dia, maka juga harus jelas siapa pemberi karena tindakan suap merupakan delik berpasangan.

“Kami katakan demikian karena sependek pengetahun kami delik suap itu adalah delik berpasangan, ada pemberi dan ada penerima," kata dia.

Berdasarkan data dari surat dakwaan, dari 57 vendor pemberi fee, 29 diantaranya disebut menyerahkan fee dalam dakwaan, namun membantah dalam BAP. Total nilai suap dari mereka sebesar Rp 15,967 miliar. Lalu, terdapat 20 vendor yang tidak diperiksa atau di-BAP sama sekali dengan nilai suap Rp 9 miliar.

Hanya delapan vendor yang mengakui menyerahkan uang sebagai fee dan/atau tanda terima kasih dengan nilai Rp 4,28 miliar. “Ada 20 vendor itu enggak pernah diperiksa, artinya ini nggak bersumber dari hasil pemeriksaan saksi-saksi," kata Maqdir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement