Jumat 30 Jul 2021 18:36 WIB

Penyebab Tingkat Kematian Pasien Covid-19 di Garut Tinggi

Penambahan kasus Covid-19 selama Juni melonjak enam kali lipat.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Muhammad Fakhruddin
Penyebab Tingkat Kematian Pasien Covid-19 di Garut Tinggi (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Penyebab Tingkat Kematian Pasien Covid-19 di Garut Tinggi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,GARUT -- Tingkat kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Garut disebut merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Dari total 23.213 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Kabupaten Garut per Kamis (29/7), sebanyak 1.108 orang atau 4,7 7 persen di antaranya meninggal dunia.

Sementara itu, merujuk data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Pemerintah Provinsi Jabar (Pikobar) per Kamis, tingkat kematian pasien Covid-19 berada di angka 1,52 persen. Artinya, tingkat kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Garut jauh di atas rata-rata angka se-Jabar.

"Kematian kita memang tinggi, di angka 1.100 lebih dari total kasus 23 ribu. Artinya ada 4,7 persen," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, Asep Surachman, saat dihubungi Republika, Jumat (30/7).

Ia menyebutkan, sekitar 30 persen kasus kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Garut terjadi pada Juni 2021. Sebab, pada Juni terjadi lonjakan kasus yang signifikan (outbreak). 

Menurut dia, penambahan kasus Covid-19 selama Juni melonjak enam kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya. Penambahan kasus yang signifikan itu secara otomatis berdampak kepada tingkat kematian. 

"Banyaknya kasus berdampak kepada kebutugan bed di rumah sakit. Jadi kelabakan di rumah sakit," ujar dia.

Keterisian rumah sakit yang tinggi menyebabkan penanganan pasien Covid-19 di Kabupaten Garut sempat terhambat. Ketika itu, banyak pasien Covid-19 di puskesmas atau di rumah yang harus dirujuk ke rumah sakit masuk sebagai daftar tunggu. Mereka baru bisa dirujuk setelah dua atau tiga hari kemudian.

Di sisi lain, kondisi pasien tersebut juga semakin memburuk. Alhasil, mereka masuk ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk.

"Jadinya terjadi kematian yang cukup besar," kata Asep.

Selain faktor lonjakan kasus, terdapat juga masalah keterambatan deteksi. Keterlambatan itu bermula dari pemahaman masyarakat tertang Covid-19 yang relatif masih rendah. 

Asep mengatakan, banyak masyarakat yang merasakan gejala Covid-19, tapi dianggap sebagai penyakit flu biasa. Ketika mereka memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan (faskes), kondisinya sudah buruk.

"Rata-rata mereka anggap hanya meriang biasa, ternyata terus memburuk baru mengakses faskes," kata Asep.

Terakhir, faktor yang menbuat tingkat kematian pasien Covid-19 di Kabupaten Garut tinggi adalah keterbatasan alat kesehatan (alkes) yang tersedia. Terutama ventilator.

"Ini kemungkinan menjadi faktor penyebab kematian tinggi," ujar Asep.

Ia mengakui, ketersediaan alkes di Kabupaten Garut masih minim. Artinya, kelengkapan yang ada tak bisa dibandingkan dengan di daerah lain.

"Di Bekasi atau Bandung misalnya, faskes dan alkesnya sudah mumpuni. Sementara di Garut terbatas. Semua tertumpu ke RSUD," kata dia.

Meski begitu, Asep menilai, angka kasus dan kematian yang tinggi menjadi tanda bahwa tim survailans di Kabupaten Garut berjalan maksimal. Ia menegaskan, timnya melaporkan kasus apa adanya secara transparan.

Timnya juga terus berupaya menekan angka penularan dan kematian akibat Covid-19. Salah satunya dengan melakukan penanganan di hulu. 

Ia menjelaskan, pelaksanaan penelusuran (tracing) dan pengetesan (testing) terus digencarkan. Ketika ada yang datang ke puskesmas dan memiliki gejala, pihaknya langsung melakukan tes antigen, sehingga kasus dapat terdeteksi lebih awal. Ketika dinyatakan positif, dalam 72 jam timnya harus dapat melakukan tracing kepada minimal 15 kontak erat.

"Biar yabg OTG semua terdeteksi, jangan sampai mereka berkeliaran. Kita juga karantina mereka, awasi selama 14 hari. Kalau dia keluar, kontak dengan komorbid, kasus kematian akan terus tejadi," ujar dia.

Menurut Asep, kasus terkonfirmasi dan kematian akibat Covid-19 di Kabupaten Garut mulai mengalami penurunan. Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kabupaten Garut, dari total 23.213 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, terdapat 571 orang yang menjalani isolasi mandiri dan 175 orang menjalani isolasi di rumah sakit. Sementara 21.359 orang lainnya telh dinyatakan sembuh. 

Sementara itu, kasus kematian akibat Covid-19 di Kota Tasikmalaya juga tercatat cukup tinggi. Sekretaris Daerah Kota Tasikmalaya, Ivan Dicksan mengatakan, tingkat kematian di daerahnya merupakan yang tertinggi ketiga di Jabar. Tingkat kematian di Kota Tasikmalaya berada di angka 3,56 persen atau 444 orang dari total kasus 12.464 per Jumat.

"Dari data Dinas Kesehatan, kematian itu mayoritas adalah lansia," kata dia.

Menurut dia, dari hasil evaluasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kematian lebih berpotensi kepada pasien Covid-19 yang belum menjalani vaksinasi. Artinya, terdapat hububgan antara capaian vaksinasi dengan tingkat kematian. 

"Kalah sudah divaksin, lebih rendah potensi meninggalnya ketika terpapar," kata dia.

Karena itu, saat ini Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya terus berupaya mengejar target pelaksanaan vaksinasi, khususnya untuk lansia. Sebab, capaian vaksinasi kepada lansia di Kota Tasikmalaya masih cenderung rendah.  

Namun, di sisi lain pihaknya juga harus memulai vaksinasi kepada remaja. "Kita akan atur secara proporsional agar semua berjalan. Meski kita terkendala stok vaksin yang terbatas," kata dia.

Beruntung, lanjut Ivan, instansi lainnya seperti TNI dan Polri juga melakukan pelaksanaan vaksinasi. Program vaksinasi dari instansi lain itu dinilai bisa membantu target pencapaian vaksinasi, terutama di kalangan selain lansia. Sebab, Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya masih fokus melaksanakan vaksinasi kepada lansia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement