REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan melakukan pencegahan penularan Covid-19 di luar Jawa dengan replikasi intervensi seperti yang telah dilakukan di Jawa. Kemenkes berupaya intensif melakukan upaya testing, lacak, isolasi (3T) di Jawa saat PPKM Darurat.
Langkah ini diharapkan agar pulau di luar Jawa juga bisa mengurangi penularan Covid-19 sama seperti yang terjadi di Jawa. Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, upaya 3T merupakan yang paling penting.
"Karena kalau upaya 3T terlalu rendah, kita terlambat mengetahui siapa yang terinfeksi sehingga (angka) kematiannya tinggi," katanya saat konferensi virtual Kemenkes, Senin (2/8).
Budi mengeklaim PPKM Darurat di Jawa dan Bali yang saat ini masih diterapkan telah membuahkan hasil menurunkan laju kasus Covid-19. Namun, di waktu yang sama, kasus Covid-19 di luar Jawa ternyata meningkat.
"Kenaikan kasus di Jawa sangat tinggi, kemudian dilakukan intervensi kemudian kasus di Pulau Jawa mulai menurun. Namun, di luar Jawa mulai naik kasus konfirmasi positifnya," ujarnya.
Meski tak menyebutkan jumlah, Budi mengeklaim, jumlah kenaikan kasus di luar Jawa lebih sedikit. Sehingga, terjadi penurunan kasus secara nasional. Namun, ia menegaskan Kemenkes harus mempertahankan masyarakat, baik yang tinggal di Jawa atau luar Jawa.
Menurut Budi, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tinggi karena masuk rumah sakit sudah dalam kondisi terlambat, imbas dari jumlah pemeriksaan yang kurang banyak. Kalau positivity rate di bawah 5 persen, kata dia, maka melakukan testing 1/1.000 penduduk per pekan, ini sesuai dengan standar organisasi kesehatan dunia PBB (WHO).
Tetapi kalau positivity rate lebih dari itu, maka harus ditingkatkan. Sehingga, kalau positivity rate di atas 25 persen di beberapa kabupaten/kota maka pemerintah harus testing lebih banyak lagi. Oleh karena itu, Kemenkes akan replikasi PPKM di Jawa untuk di luar Jawa.
"Dengan demikian diharapkan kalau positivity rate masih tinggi, yang menggambarkan laju penularan tinggi maka tes harus lebih banyak supaya lebih cepat tahu siapa yang sakit, yang dikarantina kemudian tidak menularkan dan yang butuh perawatan cepat dirawat (di rumah sakit) sehingga bisa mengurangi kematian," katanya.
Kendati demikian, kata Menkes, testing yang seharusnya dilakukan adalah berdasarkan epidemiologi, bukan pemeriksaan untuk skrining. Pemeriksaan untuk skrining dilakukan ketika akan bepergian, akan ada acara, akan bertemu orang. Namun, untuk penanganan pandemi, mengharuskan testing-nya adalah epidemiologi.
"Tes untuk skrining boleh tetap jalan untuk memastikan acara tersebut atau selama proses transportasi aman. Tetapi angka yang kami kejar adalah angka hasil pelacakan atau testing epidemiologi," katanya.
Sejauh ini, Budi mengakui testing epidemiologi di Indonesia baru 45 persen. Kemenkes mengaku akan menyosialisasikan ini lebih banyak meski testing skrining tetap berjalan. Ia menambahkan, Kemenkes berkomitmen akan lebih agresif melakukan 3T lewat testing epidemiologi yang bersumber dari pelacakan kontak erat dan suspek.