REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menegaskan pihaknya tidak bisa sembarangan dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Ia menegaskan, penetapan status seseorang sebagai tersangka dilakukan berdasarkan kecukupan alat bukti.
"KPK hanya akan menetapkan seseorang sebagai tersangka berdasarkan bukti yang cukup," kata Firli Bahuri dalam keterangannya, Senin (6/9).
Hal tersebut dia sampaikan menyusul munculnya nama Azis Syamsuddin dalam dakawaan Stepanus Robin Pattuju di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Mantan penyidik KPK itu saat ini menjadi terdakwa kasus suap pengurusan sejumlah perkara di KPK.
Komisaris Jendral Polisi itu berjanji akan memberikan penjelasan secara utuh setelah pengumpulan keterangan dan barang bukti sudah selesai. Dia mengatakan bahwa saat ini KPK masih terus bekerja mengumpulkan bukti-bukti tersebut.
Firli menjelaskan, seseorang menjadi tersangka bukan karena ditetapkan oleh KPK. Mantan deputi penindakan KPK itu melanjutkan bahwa dalam undang-undang, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya dan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
"Jadi tugas penyidik kpk bekerja mencari dan mengumpulkan keterangan saksi. Seketika seseorang menjadi tersangka maka harus segera diajukan ke persidangan peradilan," katanya.
Seperti diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Stepanus Robin Pattuju yang dilihat dari laman http://sipp.pn-jakartapusat.go.id menampilkan bahwa mantan penyidik KPK itu menerima suap dengan jumlah keseluruhan Rp 11.025.077.000 dan 36 ribu dolar AS. Suap belasan miliar itu berasal dari berbagai sumber.
Penerimaan tersebut berasal dari Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial, sejumlah Rp 1,69 miliar, Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado sejumlah Rp 3,09 miliar dan 36 ribu dolar AS. Selanjutnya menerima dari Wali Kota Cimahi di Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna, sejumlah Rp 507 juta, Usman Effendi sejumlah Rp 525 juta, dan mantan bupati Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, Rita Widyasari, sejumlah Rp 5,19 miliar.
"Siapapun pelakunya, kami tidak pandang bulu jika cukup bukti karena itu prinsip kerja KPK," kata Firli lagi.