Ahad 19 Sep 2021 22:43 WIB

PPNSI Kritik Kebijakan Pemerintah yang Masih Impor Beras

Alhasil masih banyak komoditas-komoditas yang bisa dihasilkan secara mandiri.

Rep: Riga Nurul Iman/ Red: Muhammad Fakhruddin
PPNSI Kritik Kebijakan Pemerintah yang Masih Impor Beras (ilustrasi).
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
PPNSI Kritik Kebijakan Pemerintah yang Masih Impor Beras (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SUKABUMI -- Perhimpunan Petani dan Nelayan seluruh Indonesia (PPNSI) mengkritisi kebijakan impor yang masih dilakukan pemerintah. Hal ini disampaikan Ketua Umum PPNSI disela-sela Rakernas PPNSI ke V di Hotel Pangrango, Kabupaten Sukabumi, Ahad (19/9).

''Kebijakan impor yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti impor beras, hortikultura, gula dan garam sangat tidak berpihak pada petani dan nelayan,'' ujar Ketua Umum PPNSI Slamet kepada wartawan. Diantaranya pada kebutuhan pokok seperti beras data BPS tahun 2021 menunjukkan tahun 2018 Indonesia mengimpor 2,2 juta ton (1 Miliar US$), tahun 2019 impor 444 ribu ton (184 juta US$), tahun 2020 impor 356 ribu ton (195 juta US$), dan tahun 2021 impor 242 ribu ton (110 jita US$).

Padahal kata Slamet, Bulog menyatakan stok beras di gudang cukup. Ia juga menyayangkan komentar presiden yang mengatakan bahwa sudah 2 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mengimpor beras.

Namun faktanya impor beras hampir setiap tahun terjadi, bahkan saat presiden menyatakan demikian, impor beras tahun 2021 sudah mencapai 242 ribu ton dengan nilai 110 juta USD. Sejatinya impor disaat stok beras cukup sama saja melakukan pengkhianatan kepada para petani loka.

Selain itu, Slamet juga mengkritisi belum maksimalnya pemerintah dalam menjaga Nilai Tukar Petani (NTP). Di mana belum pernah melebihi NTP 104 atau hanya rata-rata 101.89 selama 7 tahun terakhir.

Artinya lanjut Slamet, kesejahteraan petani selama 7 tahun terakhir masih berada pada titik yang sama. Data NTP terbaru pada pada bulan Juli 2021 turun 0,11 prrsen dari NTP di bulan Juni 2021 menjadi 103,48. Sementara Inflasi bulan Juli 2021 mengalami kenaikan 0,08 persen yang artinya petani mendapatkan dua pukulan secara bersamaan dimana disaat kesejahteraannya menurun daya belinya pun mengalami penurunan.

Slamet juga mencatat pada akhir 2020 data BPS menunjukkan terjadi peningkatan signifikan impor kopi, teh dan rempah-rempah sebesar 55 persen dibanding bulan sebelumnya. Ia pun mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi padahal sejak dahulu Indonesia dikenal karena kekayaan kopi, teh dan rempah-rempahnya.

PPNSI ungkap Slamet, ingin hadir bersama petani untuk berjuang menjayakan kembali kopi, teh dan rempah-rempah Indonesia. Nasib komoditas perikananan dan pergaramanpun tidak jauh berbeda.

Menurut Slamet berbagai kendala masih banyak ditemukan seperti kendala konektivitas infrastruktur yang belum terpadu sehingga menyebabkan supply barang antar daerah masih sangat terbatas. Alhasil masih banyak komoditas-komoditas yang bisa dihasilkan secara mandiri namun untuk penyediaannya bagi bahan baku industry lebih banyak dipenuhi oleh komoditas impor.

''Kehadiran PPNSI akan terus bersinergi dengan berbagai stakeholder untuk membantu pemberdayaan para petani dan nelayan dalam mengembangkan usahanya menuju korporasi petani,'' cetus Slamet. Sekaligus memberikan advokasi kepada mereka untuk berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement