Sabtu 02 Oct 2021 16:38 WIB

ICJR Nilai Masih Ada 24 Isu RKUHP yang Perlu Dikaji

Pembahasan RKUHP diminta dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Pengendara melintas di area mural Tolak RUU RKUHP di Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (30/9/2019).
Foto: Republika
Pengendara melintas di area mural Tolak RUU RKUHP di Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (30/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga menyorot rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Menurutnya, masih ada 24 isu di dalamnya yang memerlukan kajian mendalam.

"Dalam 24 isu itu, ICJR menilai masih ada masalah terkait overkriminalisasi yang akan berdampak pada overcrowding lapas, pelanggaran hal privasi warga negara, terancamnya hak kelompok rentan dan minoritas," ujar Sustira lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (2/10).

Hal-hal tersebut perlu dikaji secara mendalam, agar kembali tak menjadi polemik. ICJR juga meminta agar pasal-pasal yang dibahas tidak terbatas pada 14 pasal yang diklaim bermasalah saja oleh pemerintah. "ICJR juga meminta agar pembahasan nantinya melibatkan lebih banyak lagi bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP," ujar Sustira.

Di samping itu, ia mengingatkan pemerintah dalam hal ini agar tetap merujuk pada arahan dari Presiden Joko Widodo untuk pendalaman materi RKUHP. Dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik elemen masyarakat sipil, pihak-pihak kritis, maupun pihak-pihak yang akan terdampak.

"Setiap pembahasan RKUHP harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal kebijakan yang demokratis," ujar Sustira.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menjawab tantangan masa depan terkait hukum. Salah satunya adalah penerapan keadilan restoratif atau restorative justice dalam penjatuhan pidana.

"Bilamana tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi sudah berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif," ujar pria yang akrab disapa Eddy itu dalam sebuah diskusi daring, Jumat (1/10).

Satu contoh yang disampaikannya adalah hukuman penjara yang menjadi putusan akhir dalam penjatuhan pidana. Nantinya, akan mendahulukan pidana denda, pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana percobaan. "Ketika ada orang yang melakukan satu tindak pidana, maka penjatuhan pidana khususnya pidana penjara meskipun masih merupakan pidana pokok, tetapi dia (pidana penjara) bukan lagi primadona," ujar Eddy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement