REPUBLIKA.CO.ID, Telur asin merupakan salah satu kuliner yang sangat akrab dengan lidah masyarakat Indonesia, termasuk di Kabupaten Indramayu. Selain rasanya yang asin, telur asin juga memiliki kekhasan yang membedakannya dengan telur ayam, yakni warna cangkangnya yang hijau kebiruan. Hal itu sesuai dengan warna telur bebek, yang menjadi asal muasal telur asin.
Namun, di Kabupaten Indramayu, tak semua telur asin berwarna hijau kebiruan. Adapula yang berwarna coklat gelap, meski tetap berasal dari telur bebek. Telur asin itu diproduksi oleh industri rumahan yang terletak di Desa Rambatan Kulon, Kecamatan Lohbener.
Telur asin itu kami beri nama Anandog,’’ ujar pemilik usaha Anandog, Kamsari, kepada Republika, Ahad (3/10).
Kamsari menjelaskan, warna coklat pada telur asin yang diproduksinya bukan berasal dari pewarna buatan. Warna coklat itu juga bukan berasal dari proses pemanggangan atau pembakaran. Melainkan dari rempah-rempah alami saat proses perebusan.
Kamsari sedikit membocorkan rahasia telur asinnya. Selain menggunakan rempah-rempah yang biasa digunakan sebagai bumbu masak, dia juga menggunakan sejumlah daun, di antaranya daun jambu dan daun salam, saat merebus telur bebek tersebut.
Daun-daun itulah yang merubah warna cangkang telur bebek dari hijau kebiruan menjadi coklat gelap. Tak hanya merubah warna cangkang telurnya, rempah-rempah yang digunakan oleh Kamsari juga mampu menembus ke dalam cangkang telur.
Hal itu membuat rasa telur asinnya menjadi gurih, selain tetap dengan rasa asin yang menjadi ciri khasnya. Bahkan, rasa gurih dari rempah-rempah langsung terasa saat gigitan pertama pada bagian putih telur.
Rasa gurih dan lezat itu akan semakin terasa pada bagian merah telurnya yang berminyak saat dibelah. Karena itulah, Anandog dikenal sebagai telur asin rempah asli Indramayu.
Kamsari mengakui, resep pembuatan telur asin Anandog itu berasal dari keluarganya. Sejak dulu, keluarganya biasa memproduksi telur asin dengan resep tersebut. Namun, produksi telur asin milik keluarganya hanya dipasarkan secara terbatas di desa mereka.
Setelah sempat vakum, Kamsari pun terjun langsung meneruskan usaha keluarganya pada 2019 silam. Namun, dia membuat sejumlah inovasi yang membuat telur asinnya semakin berkembang.
Salah satunya dengan menggunakan kemasan dari kardus khusus telur. Kemasan yang dipesannya secara khusus di marketplace itu membuat Anandog lebih menarik.
Kemasan tersebut terbagi menjadi tiga, yakni berisi empat butir dengan harga Rp 18 ribu per kemasan, isi enam butir seharga Rp 25 ribu per kemasan, dan isi sepuluh butir seharga Rp 40 ribu per kemasan.
Selain itu, inovasi yang dilakukan Kamsari adalah dalam proses penjualan. Selain tetap menjual telur asin secara langsung dengan menitipkannya di warung-warung, dia juga memanfaatkan penjualan secara daring.
Alhasil, pemasarannya semakin luas. Dengan cara tersebut, telur asin Anandog dipesan oleh konsumen dari berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya menjual sendiri, Kamsari juga membuka peluang bagi para reseller.
Sebelum pandemi, dia biasa memproduksi 1.000-2.000 butir telur asin per hari. Namun sayang, di masa pandemi ini, telur asin yang diproduksinya menurun hanya di kisaran 500 butir per telur.
Selain di dalam negeri, Kamsari pun mengaku cukup rutin mengirimkan pesanan Anandog pada konsumen di Hongkong maupun Taiwan. Meski memang, para konsumennya merupakan orang Indonesia yang bekerja di negara-neara tersebut.
Tak hanya untuk dikonsumsi sendiri, para pelanggannya di luar negeri juga ada yang memesan untuk dijual kembali di sana. "Dalam sebulan saya biasa kirim dua kali (ke Hongkong dan Taiwan)," tutur Kamsari.
Kamsari mengaku tidak khawatir telur asinnya akan busuk selama dalam perjalanan. Meski tanpa pengawet, telur asin Anandog mampu bertahan selama 10 hari. "Kalau kirim ke Hongkong, paling tiga hari sudah sampai," terang Kamsari.
Selain pandemi Covid-19, kendala yang kerap dialami Kamsari adalah sulitnya memperoleh telur bebek di luar masa panen padi. Selain sulit, harga telur bebek dari peternak yang menyuplainya juga mahal.