Selasa 16 Nov 2021 13:57 WIB

RUU TPKS tak Atur Pemaksaan Aborsi

Pemaksaan aborsi disebut sudah diatur dalam RKUHP.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Sebuah klinik aborsi disegel polisi (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin
Sebuah klinik aborsi disegel polisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR memaparkan sejumlah poin baru dalam draf rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Salah satunya adalah terkait persetujuan medis atau medical consent.

Dalam Pasal 5, diatur jika adanya pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan, ancaman, penyalahgunaan kekuasaan, hingga memanfaatkan kondisi tak berdaya. Sebab pemaksaan dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya sementara waktu.

Baca Juga

"Persetujuan yang dimaksud adalah medical consent yang biasa diberikan pasien sebelum diberikan treatment atau pembedahan oleh dokter atau tenaga medis. Karena tindakan itu akan menyebabkan konsekuensi kepada pasien," ujar tim ahli Baleg Raisah Suarni dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU TPKS, Selasa (16/11).

Dalam Pasal 5, pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta. Adapun dalam Pasal 6, diatur terkait pemaksaan sterilisasi yang membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap dikenai pidana penjara paling lama sembilan tahun dan atau denda sebesar Rp 200 juta.

Raisah menjelaskan, dalam draf RUU TPKS seharusnya juga mengatur ihwal pemaksaan aborsi. Namun poin tersebut tak dicantumkan, mengingat pengaturan terkait pemaksaan aborsi sudah berada di dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Poinnya sebenarnya adalah medical consent. Terkait pemaksaan kontrasepsi pada Pasal 5 dan 6 itu sebenarnya harus diatur juga pemaksaan aborsi, tetapi karena sudah diatur di dalam RKUHP, maka kami tidak mengatur lagi di sini," ujar Raisah.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual membutuhkan undang-undang tersendiri, yakni rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurutnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak cukup untuk melindungi korban.

"Kita bisa pakai imajinasi, bagaimana kita bisa melindungi seseorang yang mengalami kekerasan seksual di sebuah ruang yang sunyi dengan KUHP,  itu tidak mungkin," ujar Mariana di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/9).

Ia mencontohkan, kasus pelecehan seksual yang menimpa salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, korban tak bisa mendapatkan perlindungan hukum dari KUHP.

"Mohon untuk bisa lebih khusus melihatnya. Jadi kalaupun dia tumpang tindih, tapi di KUHP itu misalnya cukup tidak dia untuk bisa membela kasus staf di KPI itu," ujar Mariana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement