Rabu 24 Nov 2021 20:49 WIB

Bila MK Batalkan UU Cipta Karja, Ini Menurut Pakar Unpad

Saat ini masih dilakukan Judicial review atau uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) berbincang dengan anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra dalam sidang lanjutan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/10/2021). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan DPR.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) berbincang dengan anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra dalam sidang lanjutan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/10/2021). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan DPR.

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Mahkamah Konstitusi RI akan memutus perkara Pengujian Formil dan Materiil UU Cipta Kerja, Kamis (25/11).  MK, telah memanggil semua pihak Pemohon Pengujian Formil dan Materiil UU CIPTA KERJA untuk sidang mendengarkan pembacaan putusan.

Pakar Hukum Unpad, Dr Holyness N Singadimedja menilai, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tetap dapat dijadikan acuan dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP). Walaupun, saat ini masih dilakukan Judicial review atau uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Holyness mengatakan, selama putusan MK belum membatalkan, maka UU Cipta Kerja dapat  dilaksanakan dengan berpegang pada azas praduga keabsahan. 

"Pandangan saya, sesuai dengan norma asas dan ketentuan MK, sekalipun di pasal 58 bahwa aturan yang diajukan judici review tetap memiliki ketetapan hukum, jadi tetap berlaku PP 36," ujar Holyness kepada wartawan, Rabu (24/11). 

Namun, kata dia, jika MK membatalkan UU Cipta Kerja, maka penetapannya akan kembali menggunakan  UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam penetapan UMP. 

"Akan kembali ke penetapan yang sebelumnya. Jadi, selama belum ada keputusan tetap sah diberlakukan prosesnya seperti itu," katanya. 

Gubernur dan kepala daerah pun, kata dia, tidak dapat berbuat banyak. Karena, Pemerintah pusat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan upah minimum (UM). 

"Saya merasa UU ini sangat mengunci pemerintah, dalam hal ini Gubernur karena ini untuk program strategis Nasional. Pemda harus ikuti dan merujuk ke UU Cipta Kerja," katanya. 

Terkait aksi buruh yang mengancam akan melakukan aksi demo besar-besaran jika tuntutan kenaikan UMP nya tidak dipenuhi, menurutnya sebuah hal yang wajar. 

"Kalau soal demo itu hak bersuara mengeluarkan pendapat, itu bebas saja tidak bisa dilbilang salah, boleh saja menyampaikan aspirasi cuma kenetunkan upah ini sudah jelas dan tegas aturannya," katanya. 

Sebelumnya, pemerintah pusat mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) pada 2022 sebesar 1,09 persen. 

Angka ini diperoleh dengan menggunakan formulasi penghitungan baru yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement