REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, meminta Pemerintah dan DPR serius melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Cipta Kerja. MK memutuskan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 hingga perlu diperbaiki.
Feri menyayangkan Menteri Airlangga Hartanto yang memaknai putusan MK bahwa UU Cipta Kerja dapat dilaksanakan dalam kurun waktu 2 tahun. Menurutnya, pendapat itu tidak sesuai dengan putusan MK, baik Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan No 6/PUU-XIX/2021 (cluster uji formil) serta Nomor 103/PUU-XVIII/2020 (cluster uji materil).
"Putusan harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR dengan benar. Bukan ditafsirkan dapat dilaksanakan 2 tahun, sekali lagi diperbaiki dalam 2 tahun," kata Feri kepada Republika, Jumat (26/11).
Feri menilai UU Cipta Kerja tak dapat diterapkan selama berstatus inkonstitusional bersyarat. Ia mendasarkan pendapatnya atas Frasa MK yang memerintahkan melakukan perbaikan selama 2 tahun dimana juga dijelaskan dalam putusan uji materil.
"Sudah sangat terang benderang bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan/kebijakan sampai diperbaikinya UU Cipta Kerja. Jadi 2 tahun itu bukan untuk diterapkan tetapi 2 tahun itu untuk memperbaiki," ujar Feri.
Feri juga memandang pemaksaan pelaksanaan UU Cipta Kerja dapat berarti Pemerintah dan DPR mengingkari MK selaku lembaga hukum tertinggi negara. Ia menyinggung konsekuensi hukum bagi mereka yang melanggar putusan itu.
"Jika dipaksakan pelaksanaan (UU Cipta Kerja) seluruh tindakan atau kebijakan maka akan batal demi hukum. Bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif dan dapat digugat perdata," ucap Feri.
Diketahui, MK menyatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Namun MK memerintahkan kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.