REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Sepanjang 2021, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat (KPID Jabar) menerima 131 aduan terkait penyiaran. Jumlahnya meningkat ketimbang pada 2020, yang jumlahnya mencapai 71 aduan.
Menurut Komisioner KPID Jabar Bidang Isi Siaran, Jalu P Priambodo, aduan masyarakat itu paling banyak disampaikan melalui media sosial. Ia mengatakan, setiap aduan akan ditindaklanjuti dengan pemantauan secara langsung dan verifikasi.
Selain menerima aduan dari masyarakat, KPID Jabar juga melakukan pemantauan langsung terhadap lembaga penyiaran. Pada 2020, berdasarkan hasil pemantauan, disebut ada 1.875 temuan indikasi pelanggaran penyiaran. Adapun pada 2021 ini disebut ada 193 temuan. “Temuan pelanggaran yang terbanyak berkaitan dengan perlindungan anak dan perempuan. Jumlah pelanggarannya mencapai 58 kasus,” kata Jalu, saat konferensi pers secara virtual, Rabu (29/12).
Jalu menjelaskan, indikasi pelanggaran terkait perlindungan anak dan perempuan itu, antara lain karena tayangannya dinilai tak ramah keluarga. “Pelanggaran yang banyak dilakukan lembaga penyiaran itu sinetron, gosip, dan lain-lain di jam tayang keluarga. Isinya konflik rumah tangga, tak layak ditonton anak-anak,” katanya.
Selain terkait perlindungan anak dan perempuan, Jalu mengatakan, temuan pelanggaran yang terbilang banyak terkait dengan hak privasi, ada 26 temuan. Kemudian 15 temuan pelanggaran terkait kepentingan publik, delapan temuan terkait muatan seks dalam lagu, serta tujuh temuan pelanggaran terkait muatan lokal.
Jalu mengatakan, KPID Jabar menindaklanjuti berbagai temuan indikasi pelanggaran penyiaran itu. Di antaranya dengan memberikan 82 rekomendasi kepada KPI pusat untuk ditindaklanjuti. Selain itu, KPID Jabar memberikan teguran satu sebanyak 14 kali, serta memberikan pembinaan sebanyak 21 kali.
Menurut Jalu, KPID Jabar tidak hanya memberikan teguran. Ada juga upaya untuk memberikan apresiasi. “Ada anugerah penyiaran. Ini upaya kami untuk mengapresiasi,” ujarnya.
Ketua KPID Jabar Adiyana Slamet mengatakan, lembaga penyiaran merupakan bagian dari demokratisasi penyiaran. “Kalau penyiaran di Jabar hancur, maka penyiaran di Indonesia hancur. Penyiaran di Jabar menjadi episentrum, miniatur penyiaran di Indonesia. Jadi, kami punya tanggung jawab menjaga mata dan telinga,” kata dia.
Sementara itu, terkait dengan “analog switch off” atau perubahan dari sistem analog ke digital untuk siaran televisi, Adiyana mengatakan, KPID hanya berperan menyumbang saran dan memberikan dukungan. Menurut dia, perubahan sistem ini mesti dikawal karena tak hanya berimplikasi terhadap masalah penyiaran, tapi juga lainnya, termasuk ekonomi nasional. “Bicara analog switch off, April sampai Desember kami sudah melakukan 20 kali sosialisasi di 20 titik,” ujarnya.