Senin 03 Jan 2022 19:37 WIB

57 PMI Indramayu Terjerat Masalah di Luar Negeri

Masalah para PMI mulai dari menjadi korban penipuan hingga meninggal dunia.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Ilham Tirta
Pekerja Migran Indonesia (Indonesia).
Foto: ANTARA/Agus Alfian
Pekerja Migran Indonesia (Indonesia).

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Sebanyak 57 pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Indramayu terjerat masalah di luar negeri sepanjang 2021. Pemerintah daerah setempat akan membentuk petugas di setiap desa untuk memfasilitasi para calon PMI agar terhindar dari masalah di negara penempatan.

Hal itu terungkap berdasarkan pengaduan yang diterima Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Cabang Indramayu pada 2021. Jumlah itu meningkat dibandingkan pengaduan yang mereka terima pada 2020 yang mencapai sekitar 40 kasus dan menurun dibandingkan pengaduan pada 2019 sebanyak 75 kasus.

Baca Juga

Ketua SBMI Cabang Indramayu, Juwarih menyebutkan, dari jumlah tersebut, sebanyak 42 kasus di antaranya menimpa PMI perempuan. Sedangkan masalah yang menjerat PMI laki-laki hanya 15 kasus.

"Permasalahan yang paling banyak menimpa PMI asal Kabupaten Indramayu berupa penempatan secara unprosedural atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang mencapai 27 kasus,’’ ujar Juwarih kepada Republika.co.id, Senin (3/1).

Permasalahan lainnya adalah penipuan sebanyak 15 kasus, tertahan kepulangannya dan penahanan dokumen terkena denda PJTKI/Agency sebanyak lima kasus, serta meninggal dunia dua kasus. Selain itu, dipulangkan karena hamil, sakit, dan hilang kontak masing-masing satu kasus.

"Dari 57 pengaduan tersebut, sebanyak 29 kasus masih dalam proses, 25 kasus selesai dan tiga kasus dicabut,’’ kata Juwarih.

Berdasarkan negara tempat terjadinya kasus, paling banyak dilaporkan terjadi di Malaysia sebanyak 14 kasus. Setelah itu, Uni Emirat Arab sembilan kasus, Taiwan tujuh kasus, Jerman lima kasus, Arab Saudi dan Irak masing-masing empat kasus, Polandia dan Hong Kong tiga kasus, Turki dua kasus, serta Qatar, China, dan Slovakia masing-masing satu kasus.

Untuk menghindari terjadinya permasalahan yang menjerat para PMI di luar negeri, Juwarih mendesak pemerintah daerah agar sering melakukan sosialisasi ke tengah masyarakat. "Karena terjadinya permasalahan PMI disebabkan oleh minimnya informasi serta peran calo/sponsor yang masih mendominasi perekrutan calon PMI,’’ kata Juwarih.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu, Sri Wulaningsih menyatakan, untuk mencegah terjadinya permasalahan yang menjerat para PMI, pihaknya selama ini telah berupaya melakukan sosialisasi migrasi aman. Masyarakat yang berminat berangkat bekerja ke luar negeri pun diminta untuk menempuh prosedur resmi melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).

"Kedepan, kita akan bentuk petugas di setiap desa untuk memfasilitasi calon PMI,’’ kata Wulan.

Kasus PMI di Indonesia memang kerap terjadi. Mulai dari masalah perekrutan, penempatan, hingga bermasalah di negeri orang.

Pada Senin, 20 Desember 2021, Satgas Pelindungan PMI Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menggagalkan pemberangkatan 59 orang calon PMI ilegal di Kota Bekasi. Mereka diketahui bakal diperkerjakan sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di negara Timur Tengah.

Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker, Suhartono mengatakan, pengungkapan itu bermula dari laporan masyarakat. Satgas Perlindungan PMI lantas melakukan sidak ke sebuah rumah yang dijadikan tempat penampungan mereka di Bintara, Kota Bekasi.

Suhartono menjelaskan, 59 orang PMI ilegal itu bakal dikirim ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. "Para CPMI ini dijanjikan bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan tiap-tiap CPMI diiming-imingi uang saku atau uang tinggal sebesar Rp 5 hingga Rp 7 juta," kata Suhartono dalam siaran persnya, Selasa (21/12).

Penempatan PMI tersebut, kata Suhartono, akan dilakukan oleh seorang calo. Padahal, penempatan PMI hanya boleh dilakukan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.

Penempatan PMI secara ilegal seperti itu, kata dia, akan membahayakan keselamatan para PMI. Sebab, mereka tak mendapat perlindungan dari negara selama bekerja di negeri orang. Mereka pun rentan menjadi korban perdagangan orang, penganiayaan, dan kerja paksa.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement