REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri mengingatkan masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial (medsos). Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, bijak memakai medsos dilakukan agar terhindar dari perkara hukum.
Imbauan itu menyusul kasus ujaran kebencian mengandung unsur suku, agama, ras, antargolongan (SARA) dengan tersangka Ferdinand Hutahaean, yang mengunggah cicitan "Allahmu lemah, Allahku luar biasa" yang viral di medsos. "Perlu dipahami oleh masyarakat kasus-kasus ujaran kebencian yang bermuatan SARA dan berpotensi memecah belah bangsa dan menimbulkan keonaran," kata Ramadhan saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Kasus ujaran kebencian yang berujung pidana tidak hanya dialami oleh Ferdinand Hutahaean, beberapa kasus lainnya, seperti M Kace dan Yahya Waloni juga berhadapan dengan hukum. Menurut Ramadhan, Polri akan menindak tegas kepada pelaku ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah bangsa, dan menimbulkan keonaran.
"Polri akan memberikan tindakan tegas dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku sesuai aturan perundang undangan yang berlaku," ujar Ramadhan.
Terkait kasus Ferdinand, penyidik Polri telah menetapkannya sebagai tersangka ujaran kebencian bermuatan SARA, setelah mengantongi dua alat bukti yang cukup, yakni berupa dua keping DVD dan satu tangkapan layar cuitan Ferdinand Hutahaean. Penyidik juga melakukan penyitaan terhadap ponsel tersangka.
Ferdinand ditahan di Rutan Cabang Jakarta Pusat di Mabes Polri. Penyidik mentersangkakan dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) peraturan hukum pidana Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara. Selain Ferdinand, tersangka ujaran kebencian lainnya, seperti Muhammad Kace dan Yahya Waloni juga dijerat dengan UU ITE.
Dalam rilis akhir tahun Polri pada 31 Desember 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan, Polri melakukan langkah untuk mengurangi polemik dan perdebatan pasal karet terkait Undang-Undang ITE yang dianggap melanggar kebebasan berekspresi. Beberapa kebijakan yang dilakukan Polri dengan mengubah pendekatan represif menjadi preemtif dan preventif.
Di antaranya, membuat surat edaran terkait bagaimana mewujudkan budaya beretika di ruang siber, meluncurkan aplikasi Virtual Police untuk mengingatkan masyarakat yang mengunggah konten yang bersifat provokatif atau bermuatan SARA. "Namun jika itu menimbulkan masalah akan kita proses, namun tahapannya akan kita lakukan tidak seperti dulu yang tangkap dulu lalu dilihat prosesnya," kata Listyo.
"Saat ini kita lakukan pendekatan-pendekatan mengingatkan. Ini berjalan baik, banyak masyarakat yang kemudian tidak paham dan memperbaiki. Namun, langkah ini tidak mengurangi kebebasan berekspresi atau kritik-kritik," ucap Listyo menambahkan.