REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 tahun 2022 yang menegaskan bahwa para pekerja baru bisa mencairkan jaminan hari tuanya pada usia 56 tahun, terus menuai kecaman. Pasalnya, peraturan itu telah mencabik-cabik rasa keadilan kaum pekerja.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jabar Asep Wahyuwijaya mengatakan hal itu saat berbicara dalam diskusi Menakar Urgensi Penerbitan Permenaker No. 2 Tahun 2022 yang diselenggarakan secara hybrid oleh Indonesian Politics & Research Consulting (IPRC) Bandung, Jum'at, 25 Februari 2022.
"Bagaimana mungkin, uang mereka sendiri yang telah disisihkan dan dititipkan kepada negara tetapi saat mereka terkena PHK pada usia yg belum mencapai 56 tahun terus negara malah menahannya dengan alasan usianya belum mencukupi? Keterlaluan kan," tegas dia dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (25/2/2022).
Secara empirik, data dari BP Jamsostek sendiri menyebutkan, bahwa klaim JHT karena alasan resign atau berhenti bekerja dalam 5 tahun terakhir ini, selalu diatas 70-an persen. Pada tahun 2019, sebelum pandemi saja, para pekerja yang mengklaim JHT karena alasan berhenti bekerja mencapai 77,65 persen.
"Artinya, kata Asep, para pekerja yang berhenti bekerja sebelum usia 56 tahun terus berniat banting stir menjadi wiraswasta dengan mengandalkan tabungan dari JHTnya itu cukup besar," ujarnya.
"Saya kira, Menaker terlalu gegabah ketika merilis regulasi tak populer ini," tegasnya.
Apalagi, ketika hasil riset dari Inter-American Development Bank merilis bahwa negara-negara lain justru memudahkan pencairan JHT bagi para pekerjanya saat menghadapi pandemi seperti sekarang.
"Jadi, kesimpulan saya terhadap Permenaker No. 2 tahun 2022 ini sederhana saja: cabut dan tunda, bukan hanya direvisi," tegas politisi bintang mercy asal Kabupaten Bogor ini.
Cabut karena sangat mengganggu perasaan dan akal sehat para pekerja yang akan menggunakan dana itu sebagai modal untuk keperluan lain demi jaminan masa tuanya. Tunda, karena selain aturan semacam Permenaker ini cacat formil karena merupakan turunan dari UU Ciptaker yang sudah diputuskam oleh MK karena masih inskontitusional.
Di sisi lain, secara substansi piranti Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana amanat dalam UU No. 40/ 2004 tentang SJSN dimana para pekerja selain mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT) pun harus mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional )JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP).
Padahal, ungkap Asep, jaminan-jaminan ini belum sepenuhnya dinikmati oleh para pekerja. Apalagi, syarat untuk mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dilansir oleh UU Ciptaker itu sendiri harus dipenuhi dulu semua jaminan itu.
Faktanya sekarang, berdasarkan data dari Jamsostek pada Desember 2021, pemilik JKP itu sendiri baru 11 juta kurang pekerja dari total 21jt'an pekerja formal yang tercatat penerima upah. Terus infonya, JKP yang mestinya disediakan negara itu pun ternyata sumber anggarannya berasal dari hasil ngutil dari iuran program jaminam sosial lainnya juga. "UU Cilaka ini memang benar-benar membawa petaka," tandasnya.