REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Polresta Bogor Kota dan Polres Bogor masih mendapati kejadian tawuran di wilayahnya masing-masing, baik yang dilakukan kelompok pemuda maupun pada siswa sekolah. Sebagian besar dari aksi tawuran ini diawali dengan berjanjian di media sosial seperti Instagram.
Kasat Reserse Kriminal Polresta Bogor Kota, Kompol Dhoni Erwanto, mengungkapkan, sebagian besar tawuran yang terjadi di Kota Bogor dilakukan oleh kelompok anak muda yang disebut akamsi (anak kampung sini). Kelompok-kelompok tersebut tersebar hampir di seluruh kecamatan se-Kota Bogor, bahkan kadang bergabung dengan kelompok di Kabupaten Bogor.
Berdasarkan data yang dirilis Polresta Bogor Kota pekan lalu, selama 2022 92 pelaku tawuran yang rata-rata berusia 15 hingga 25 tahun berhasil ditangkap. Beserta dengan barang bukti berupa 33 senjata tajam.
Sejak pekan lalu, kata Dhoni, kejadian tawuran antar kelompok di Kota Bogor menurun. Meski demikian, ia belum menyebutkan berapa jumlah penurunan kasus tawuranya.
“Setelah rilis agak turun dengan pemberitaan di media,” kata Dhoni kepada Republika, Ahad (6/3).
Dia menjelaskan, Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Kota menggunakan sosial media untuk melakukan penyelidikan terhadap aksi tawuran ini. Sebab, kelompok pemuda tersebut berjanjian satu sama lain melalui media sosial.
Bahkan, beberapa kelompok memiliki akun media sosial sendiri. “Kemudian dari sini kami bisa mengungkap siapa pelaku pembacokan ataupun penganiayaan,” ungkapnya.
Dari media sosial itu juga, lanjut Dhoni, para pelaku tawuran mendapatkan musuh dari kelompok lain. Sebab sejumlah kelompok ada yang beraliansi, yang kemudian menyerang kelompok lain yang dikenal sebagai musuh bebuyutannya.
“Kalau tawurannya mereka lokasinya random (acak). Tapi, ada tempat-tempat tertentu mereka sering gunakan untuk janjian, kemudian mereka tawuran di tempat tertentu,” jelasnya.
Sementara itu, Kasat Reserse Kriminal Polres Bogor, AKP Siswo Tarigan, mengatakan berdasarkan laporan terakhir yang diterimanya, pihaknya menangkap 12 pelajar yang terlibat tawuran di Desa Dayeuh, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Dari penangkapan tersebut, belum ditemukan adanya senjata tajam. Hanya saja polisi melalukan penyelidikan terkait peran dari masing-masing pelajar.
Sama seperti di Kota Bogor, Siswo mengungkapkan, aksi tawuran yang kerap terjadi biasanya diawali dari undangan di media sosial. “Kalau info sementara memang mereka datang ke lokasi karena adanya undangan, ya adanya janjian, lewat media sosial,” ujarnya.
Dari aksi tawuran di Kecamatan Cileungsi, Siswo mengatakan, ada empat orang yang mengalami luka bacok hingga mendapatkan perawatan di rumah sakit. Empat korban luka diketahui berasal dari sekolah yang sama.
“Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang sudah kita mintai keterangan itu melibatkan empat sekolah. Dimana satu sekolah melawan tiga sekokah. Sekolah yang ada di Kabupaten Bogor,” jelasnya.
Mengenai maraknya aksi tawuran pelajar, Pengamat Pendidikan dari Komnas Pendidikan, Andreas Tambah, mengatakan faktor hukum yang diterapkan terhadap para pelajar pelaku kekerasan, tidak menimbulkan efek jera. Demikian juga pada dampak buruk yang dialami baik korban maupun pelaku, tidak dibahas dalam pendidikan. Termasuk juga nasehat yang bisa diberikan dari sekolah, maupun keluarga.
Sebagai solusinya, Founder Rumah Literasi-45 ini mengatakan, unsur pendidikan agama dalam keluarga perlu diperkuat. Selain itu, masih dalam keluarga, komunikasi yang dibangun harus harmonis dan edukatif. Khususnya untuk hidup bermasyarakat.
“Edukasi terkait hukum dan dampak dari tindak kekerasan juga perlu diketahui dan dipahami oleh anak,” tegasnya.