Jumat 11 Mar 2022 07:42 WIB

Penanganan Pasien Bibir Sumbing Masih Terhalang Stigma

Jarak yang jauh di daerah pelosok merupakan tantangan yang dihadapi Smile Train Indon

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Agus Yulianto
Senyuman Pasien Smile Train Indonesia bersama anaknya.
Foto: Dok. Smile Train Indonesia
Senyuman Pasien Smile Train Indonesia bersama anaknya.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Organisasi nirlaba Smile Train Indonesia telah melakukan operasi terhadap 100 ribu pasien bibir sumbing dari Sabang sampai Merauke. Selama 20 tahun ini, Smile Train Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam menangani pasien bibir sumbing di Indonesia.

Spesialis Bedah Mulut, Andi Budihardja, mengatakan, satu dari 700 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi lahir dengan bibir sumbing dan atau celah langit-langit mulut. Hal itu terjadi di semua pulau, yang tidak seluruhnya memiliki fasilitas medis yang cukup baik untuk melayani pasien bibir sumbing.

Baca Juga

Umumnya, para pasien bibir sumbing dioperasi saat usia tiga bulan. “Dengan usia seperti itu nggak gampang karena risiko pembihsan dan operasi cukup tinggi, jadi butuh fasilitas medis yang baik. Ini jadi tantangan sendiri untuk tenaga medis menangani pasien,” kata Andi kepada Republika, Kamis (10/3).

Country Manager Smile Train Indonesia, Deasy Larasati, mengakui, jarak yang jauh di daerah pelosok merupakan tantangan yang dihadapi pihaknya. Misal di salah satu daerah di Papua hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil, yang beroperasi hanya sebulan sekali.

“Kami harus nunggu, nggak boleh nolak, karena mereka sudah datang dan minta tolong. Akses komunikasi mereka terbatas, kita sudah mendapat informasi, kok kita nggak bisa bantu? Nah itu adalah tantangan besar,” tuturnya.

Dari kejadian seperti ini, kata dia, pihaknya mendapat dukungan luar biasa dari TNI-Polri yang menyediakan fasilitas untuk menjangkau pasien ke pelosok-pelosok.

Selain itu, lanjutnya, fasilitas kesehatan sesuai standar operasi bibir sumbing belum tentu memadai di daerah-daerah terpencil. Sehingga, Smile Train Indonesia dan tenaga medis harus membawa peralatan medis untuk melalukan operasi. 

“Dan itu bukan hal yang mudah. Tim dokter siap dalam kondidi seperti itu. Itu kita terus berusaha memberikan yang terbaik. Karena safety (keamanan) adalah paling penting dalam penanganan,” imbuhnya.

Tak hanya masalah teknis, Deasy mengakui, pihaknya masih menghadapi tantangan berupa stigma dari masyarakat, terkait pemasalahan bibir sumbing. Hal itu kerap dikaitkan dengan keluarga pasien atau pasien itu sendiri.

“Bahkan ada anggota keluarga yang bilang ‘itu (bibir sumbing) sudah pemberian dari tuhan, nggak boleh diubah’. Inilah kita pelru libatkan tokoh masyarakat, keluarga terdekat untuk dapat membantu kami mengedukssi bahwa apa yang dilakukan kebaikan keluarga pasien,” ujarnya

Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik, Letkol Ckm Denny Irwansyah, mengatakan dalam hal edukasi dirinya mengandalkan Bintara Pembina Desa (Babinsa), yang dekat dengan masyarakat. Termasuk dengan edukasi melalui media daring.

“Sekarang media digital untuk di pelosok di kampung-kampung sudah punya gawai. Jadi kegiatan seperti ini sangat membantu untuk mengedukasi. Juga melalui para rekan pekerja sosial biss membantu edukasi,” kata Denny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement