Senin 21 Mar 2022 16:37 WIB

Dilema Pedagang Gorengan, Beralih ke Migor Curah Atau Naikkan Harga

Pilihan untuk menaikkan harga jual gorengan kerap dipertanyakan oleh para pelanggan.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Pedagang gorengan mengeluhkan harga minyak goreng yang sangat mahal.
Foto: Shabrina Zakaria
Pedagang gorengan mengeluhkan harga minyak goreng yang sangat mahal.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Mahalnya harga minyak goreng kemasan membuat para pedagang gorengan terpukul. Mereka pun harus membuat pilihan, beralih menggunakan minyak goreng curah atau tetap menggunakan minyak goreng kemasan dengan konsekuensi harus menaikkan harga jual gorengannya.

Hal itu seperti yang dialami seorang pedagang gorengan di Kecamatan Indramayu, Didi. Sebelum minyak goreng mengalami kelangkaan, dia selalu menggunakan minyak goreng kemasan untuk menggoreng barang dagangannya. Seperti molen pisang, tahu, tempe, singkong maupun cireng.

Setiap hari, Didi memerlukan 15 liter minyak goreng. Dengan harga minyak goreng kemasan yang mencapai sekitar Rp 47 ribu per dua liter, maka modal yang dibutuhkannya untuk membeli minyak goreng sekitar Rp 350 ribu per hari. "Gak kejangkau, terlalu mahal," keluh Didi, Senin (21/3).

Untuk itu, Didi terpaksa beralih menggunakan minyak goreng curah yang lebih murah. Meski demikian, dia tetap tak bisa menikmati minyak goreng curah sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Didi menyebutkan, minyak goreng curah yang dibelinya seharga Rp 20 ribu per liter. Padahal, HET yang ditetapkan pemerintah untuk minyak goreng curah hanya Rp 14 ribu per liter. "Itupun susah dapatnya," tutur Didi.

Didi mengatakan, hingga Ahad (20/3), minyak goreng curah susah diperoleh di pasar tradisional. Beruntung, dia memiliki toko langganan untuk membeli minyak goreng.

"Dapat sih, tapi dijatah. Hanya dapat 10 – 12 liter per hari. Padahal, saya butuhnya 15 liter per hari," kata Didi.

Didi pun mengaku, beralih menggunakan minyak goreng curah karena tidak mau menaikkan harga jual gorengannya. Dia takut hal itu membuat minat masyarakat untuk membeli gorengannya jadi menurun. "Harga gorengan saya tetap Rp 1.000 per buah," kata Didi.

Berbeda dengan Didi, seorang pedagang gorengan lainnya, Sinta, memilih tetap bertahan menggunakan minyak goreng kemasan. Dia menilai, penggunaan minyak goreng curah akan menurunkan kualitas gorengannya. "Saya tetap pakai minyak goreng kemasan," tukas Sinta.

Namun, untuk menghindari agar tidak merugi, Sinta terpaksa menaikkan harga jual gorengannya. Yakni, dari Rp 1.000 per buah menjadi Rp 1.500 per buah. "Naik Rp 500. Kalau tidak naik, ya rugi," tutur Sinta.

Sinta mengakui, pilihannya untuk menaikkan harga jual gorengan kerap dipertanyakan oleh para pelanggannya. Meski demikian, pelanggannya bisa memahami hal tersebut karena mereka pun turut merasakan mahal dan susahnya memperoleh minyak goreng.

Sementara itu, beralihnya sejumlah pedagang gorengan maupun masyarakat dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah, membuat pedagang di pasar tradisional enggan menjual minyak goreng kemasan. Pasalnya, minyak goreng kemasan kurang laku.

Salah seorang pemilik toko kelontong di Pasar Baru Indramayu, Adang mengatakan, para agen minyak goreng kemasan dari berbagai merk telah menghubunginya untuk menawarkan minyak goreng kemasan. Namun, dia tidak berani mengambil stok minyak goreng kemasan tersebut.

Adang mengaku khawatir minyak goreng kemasan tidak laku. Karenanya, dia lebih memilih menjual minyak goreng curah karena banyak pembeli yang mencarinya.

"Waktu minyak goreng kemasan masih ada HET, saya susah sekali dapat stok. Sekarang setelah HET dicabut, tiba-tiba minyak goreng kemasan melimpah," tutur Adang.

Adang berharap, pemerintah bisa menyediakan minyak goreng curah dengan jumlah yang cukup. Pasalnya, selama beberapa hari terakhir, dia kesulitan memperoleh stok minyak goreng curah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement