Jumat 24 Jun 2022 21:57 WIB

Pakar Kimia dan Ahli Pangan Nilai Pelabelan BPA Kemasan tak Tepat

Pakar kimia ungkap BPA dalam kemasan tak timbulkan bahaya bagi tubuh

Pekerja memindahkan galon di salah satu depo pengisian air minum. Para pakar kimia dan ahli pangan dari beberapa universitas ternama menyampaikan secara scientific, Bisfenol A (BPA) yang ada dalam kemasan galon berbahan Polycarbonat (PC) belum menunjukkan tanda-tanda yang bisa membayakan kesehatan tubuh manusia.
Foto:

Pakar Teknologi Pangan yang juga dari IPB, Eko Hari Purnomo, menegaskan kandungan BPA yang terkandung dalam galon air minum dalam kemasan guna ulang tidak membahayakan kesehatan. Menurutnya, plastik Polikarbonat (PC) yang mengandung BPA itu digunakan untuk galon air minum hanya karena sifatnya yang keras, kaku, transparan, mudah dibentuk, dan reltif tahan panas.   

Selain itu, kata Eko, kecil kemungkinan  ada migrasi atau perpindahan BPA dari kemasan galon ke dalam airnya mengingat BPA itu tidak larut dalam air. “BPA ini hanya larut dalam pelarut organik seperti alkohol, eter, ester, keton, dan sebagainya,” tukasnya.

Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Nugraha E. Suyatma,  mengatakan galon-galon air itu  sebelum diedarkan sudah diuji dulu residu BPA-nya berapa. Migrasinya juga sudah dites dulu oleh pabriknya dan sudah memiliki standar keamanan pangan. “Jadi, air galon polikarbonat itu relatif aman untuk digunakan dan tidak perlu sampai wajib pelabelan BPA,” tukasnya

Dosen Jurusan Teknologi Pangan Universitas Teknologi yang juga Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftion, mengatakan semua produk pangan itu sudah ada kriteria amannya masing-masing, baik itu secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Jadi, menurutnya, pengusaha pangan juga sudah mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan. 

Begitu juga terkait kemasan yang digunakan, itu berbeda-beda kriteria keamananannya atau batas toleransi amannya. Termasuk soal migrasi monomer dari kemasannya atau yang dijadikan pelapis kemasannya. 

“Makanya, semua produk pangan itu termasuk kemasannya itu perlu memiliki sertifikat SNI atau wajib berlabel SNI, sehingga aman untuk dikonsumsi,” tukasnya.

Jadi, menurutnya, sebenarnya tidak perlu lagi ada pelabelan lainnya seperti BPA ini.  Apalagi, dia melihat penambahan label baru itu nantinya malah akan menambah biaya bagi industri  untuk melakukan pengujian dari kemasan. 

“Pas awal-awal mereka harus mengeluarkan biaya untuk menguji kemasannya, kemudian untuk periode tertentu misalnya setiap 6 bulan atau setahun, mereka juga harus mengujinya lagi untuk dikonfirmasi aman atau tidak. Itu kan biayanya tdak sedikit,” katanya.

Selain itu, Hermawan juga menyampaikan bahwa tidak ada jaminan penambahan label baru itu justru malah membuat para konsumen menjadi lebih nyaman terhadap produk pangan tersebut. 

 

“Bisa saja pelabelan yang menyatakan produk itu aman dari monomernya itu malah membuat konsumen menjadi takut menggunakan produk tersebut,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement